24. Pertemuan tak terduga.

4 0 0
                                    

Aku berjalan sempoyongan di gang menuju basecamp. Pandanganku blur, hatiku koyak. Aku masih mencintainya tapi, aku harus menolaknya dengan tegas.

Aku meminum alkoholku lagi yang sedari tadi ku genggam dan ku minum sepanjang jalan. Menengadah langit dan menatap bulan sabit yang nampak indah.

"Kamu lihat bulan itu, Tes? Cantik kayak kamu," ucapnya dengan senyum bahagia yang tulus.

Aku menggeleng-gelengkan kepala, berusaha mengusir bayangannya saat teringat dia pernah mengatakan hal itu pada kencan pertama kita.

Aku menggeram frustasi, berteriak dan meninju tembok yang menjadi sandaranku.

"Cukup, Tes!" Alan mencekal tanganku yang hendak meninju tembok untuk ke sekian kalinya.

Aku tak sanggup menatap wajah sahabatku itu dengan perasaan kacau seperti ini. Aku memilih meninggalkannya. Berjalan dalam kesendirian dan kegelapan lagi.

***

Jam 06.00 pagi, baru saja ku terbangun. Aku segera bersiap-siap untuk segera ke studio.

"Udah bangun?" sapa Nadya dengan suara paraunya.

"Iya," jawabku singkat. Setengah jam bersiap aku sudah hendak berangkat. Menoleh pada Nadya yang ternyata terlelap kembali.

"Tes! Minum teh anget ini dulu!" titah Alan saat aku hendak keluar basecamp.

Aku tersenyum melihat perhatian kecilnya. Segera ku minum dan mengucapkan terima kasih yang tulus untuknya.

Dia tersenyum lebar menatap kepergianku.

****

"Selamat pagi," sapaku pada semua orang yang sudah berada di studio.

"Waw, ceria banget kayaknya." Raffi berkata sambil mengunyah makanannya tanpa menoleh padaku.

"Iya dong, gua kan harus bersemangat emang," jawabku dengan sumringah.

"Sini duduk dulu, coba dengerin ini!" Dia menempelkan earpod saat aku sudah duduk di sampingnya.

"Bisa?" tanyanya setelah aku mendengar sebuah lagu.

Aku mengangguk, itu sebuah hal gampang. Lagi pula aku tahu lagu itu.

"Kita syuting video buat vlog youtube kita dulu, ya? Sembari menunggu kamu dapat lagu perdana yang bisa dibuat album lagu dan membuat orang-orang kenal sama kamu," jelasnya panjang lebar.

"Okey! Ayo bersiap semua," teriaknya pada semua crew di studionya.

***

Setelah hari yang panjang dan melelahkan itu, aku laper dan hendak membeli makanan di warung depan studio ini.

"Ayam bakar satu, makan di sini." Selesai memesan aku duduk di salah satu meja, sambil memaikan hpku.

"Gue ikut duduk di sini ya?" Tiba-tiba Raffi sudah ikut duduk di depanku.

"Ini cuma warung pinggir jalan, Raf. Nggak sepadan dengan restoran mewah yang sering buat lu makan itu," ucapkan non formal sambil mengejeknya.

"Nggak papalah, sultan pengen ngerasain gimana makan di warung beginian," ucapnya sombong.

Aku terkekeh mendengar jawaban narsisnya. Sesaat pesananku sudah tiba.

"Aku satu, sama kayak dia, Buk." Raffi memesan sama denganku.

Si ibu yang melayani langsung beringsut pergi. Aku mencuci tanganku dan hendak memakannya.

"Eh, nanti dulu!" Selanya saat aku bersiap untuk makan.

"Apalagi sih, Raf?" tanyaku gusar.

"Nanti nungguin punyaku bentar, tega banget sih di tinggal makan dulu," ucapnya memelas.

Ish! Merepotkan memang ini orang.

"Tesya?" Tiba-tiba seseorang memanggilku. Dia berjalan mendekati  mejaku.

"Ternyata bener kamu, ini siapa?" Dia Rian, orang yang sangat ingin aku hindari malah harus bertemu di sini.

"Dia ... atasan aku," jawabku kikuk.

"Aku atasan kamu?" tanya Raffi tak terima.

"Diem deh!" Aku menyentil tangannya tapi dia masih ingin protes.

"Kamu kerja sekarang? Tapi, kok ....,"

"Rian kayaknya kamu di tunggu wanita itu deh, maaf ya. Lagian aku juga mau makan sama atasanku yang galak ini. Besok-besok kita lanjut lagi,"  usirku secara halus sambil mendorongnya perlahan.

"Wa sama telpon aku jawab, Tes!" ucap dia sebelum berlalu pergi. Aku menghembuskan nafas lega saat dia sudah berlalu.

"Pacar? Gebetan?" tanya Raffi kepo.

"Enggaklah!"sanggahku tak suka.

"Terus? Mantan?" Aku diam tak menjawab.

"Ah, bener dugaanku. Tapi, lumayan juga sih mantan kamu tadi." Dia berkomentar lagi sok tau.

"Terserahlah, aku laper makan dulu." Aku malas menanggapinya dan mulai menyendok makananku.

Dia terkekeh, tak lama kemudian pesanannya datang.

***

Pukul 5 sore tepat aku keluar dari gedung studio. Lelah dan penat. Aku ingin segera beristirahat.

Kata Raffi jika kontrak dengan beberapa produser sudah di setujui aku akan makin sibuk.

Aku harus mempersiapkan diri untuk itu.

Saat akan menyebrang jalan menunggu lampu hijau bagi pejalan kaki. Ada seorang wanita yang jatuh dari motornya.

Membuat keributan dan hanya di salah-salahkan. Bahkan tidak ada yang menolong. Inilah Indonesia! Minim akan rasa empati.

Aku segera ikut menerobos kerumunan yang hanya menonton. Lalu segera membantu ibu-ibu yang jatuh tadi.

"Jangan hanya di lihat dong! Bantuin ke pinggir kek!" Aku berteriak marah pada mereka yang bodoh.

Beberapa pria membantu menggotong ibu itu ke pinggir jalan dan memarkirkan sepeda motornya. Aku ikut berjongkok dan memberikan  air mineral yang ku bawa dari studio tadi.

Ibu itu menerima dengan senyum tipis di wajahnya.

"Ibu udah nggak apa-apa? Perlu ke rumah sakit?" tanyaku khawatir.

Ibu itu menggeleng dan tersenyum manis. "Gak apa-apa. Bentar lagi bisa jalan kok. Makasih, ya?"

Aku ikut tersenyum dan berpamitan pulang.

Entah kenapa senyum dan suara ibu tadi mengingatkanku akan sesuatu. Membuat hatiku berdesir hangat.

*****

Tbc

Story of lady punk (tesya) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang