31. Fakta yang (Masih) Tersembunyi

363 83 7
                                    

Sarah menjetikkan jarinya dengan santai menuju lemari sepatu di dekat pintu, mengambil converse yang waktu itu diberikan oleh Arkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sarah menjetikkan jarinya dengan santai menuju lemari sepatu di dekat pintu, mengambil converse yang waktu itu diberikan oleh Arkan. Mendadak senyumnya terkembang hanya karena satu nama itu terbit di dalam kepalanya. Apa karena dia benar-benar menyukai Arkan? Sarah menggelengkan kepala, dia menampik tanya itu. Arkan memang cukup menyenangkan untuk dijadikan teman, tetapi tidak untuk pacar karena Sarah sendiri tidak mau berurusan dengan hal-hal semacam itu. Cukup dulu dia menjadi bodoh.

"Ara siap?" Sang papa datang dengan penampilan rapi, bak muda lagi.

Sarah yang baru selesai memasang sepatu sontak mengerling lucu seraya melingkarkan tangannya di lengan sang papa. "Cie, Papi, gantengnya beda banget malem ini."

Papanya menggerakkan bahu penuh semangat, "Deg-degan nggak, Ra? Papi, sih, iya."

"Banget, Pi. Padahal cuma bakal ketemu sama temennya mami, bukan ketemu mami sama Kak Sagara."

"Bener juga kamu," angguk papanya setuju. "Ini nggak cuma Papi 'kan yang ngarep manatau nanti ada mami sama Sagara?"

Sarah menepuk semangat lengan papanya, dia menggeleng dengan raut lucu. Tidak mau membuang waktu lebih lama, Sarah menarik papanya dengan semangat untuk melewati ambang pintu rumah. Wajah perempuan dengan dress abu-abu sederhana yang jatuh hingga lututnya itu kini sama indahnya dengan rembulan malam. Ditinggalkannya papa yang mengunci pintu rumah, melangkah ke luar pagar di mana mobil terparkir.

Baru saja masuk dan menempelkan badan pada jok, Sarah mendengar sesuatu berdenting samar. Dia melihat ke belakang, mencari darimana datangnya sumber suara itu. Ketika memasang seatbelt, dentingan samar itu terdengar lagi. Sarah diam sebentar, menerka-nerka. Mulutnya sontak terbuka saat sadar asal suara itu. Bodoh! Dia sudah menduga kalau setan sedang mempermainkannya, padahal dentingan itu berasal dari ponsel yang tersimpan di dalam tas bahunya.

"Bener juga kata Beti, giliran rumus aja gue cepet, yang lain-lain begonya kebangetan."

Sarah merogoh tas sambil melihat sang papa yang berjalan dan masuk ke mobil, baru menunduk ketika sudah didapatnya benda pipih itu. Saat menyala, Sarah menganga lagi saat tahu notifikasi itu dari siapa. Hugo dan balasannya yang super menyebalkan.

"Pengen gue gaplok beneran nih orang," semprot Sarah pada layar ponsel dan itu membuat papanya terkejut.

"Kenapa, Nak?" Papanya panik, tidak jadi menyalakan mobil. "Siapa yang pengen Ara gaplok? Butuh Papi wakilin?"

"Papi mau?" tanya Sarah bersemangat.

"Siapa emangnya?"

"Hugo, anak kesayangan Papi tuh." Sarah ganti mencebik untuk menyindir terang-terangan pria paruh baya kesayangannya, dia kemudian membuka roomchat Hugo dan mengabaikan protesan sang papa. "Kayaknya Ara senin bakal bawa ustadz ke sekolah, Pi, buat ngerukiah nih orang."

Bersamaan dengan mobil yang mulai berjalan pelan, papanya pun mengingatkan Sarah dengan pelan. "Ra, jangan banyakan berantemnya sama Hugo."

"Pi, jangan banyakan belain si Hugo, nggak baik belain makhluk halus."

SakanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang