27. Jangan Sombong Dulu, Hei!

590 109 12
                                    

Bunyi sendok dan garpu yang sesekali berdenting karena beradu dengan mangkuk seblak terdengar bak keributan di kantin yang sepi. Bel masuk sudah berbunyi sejak sepuluh menit tadi, tapi Arkan masih asik makan karena ketika jam istirahat dia malah mencuri momen untuk bermain futsal di lapangan bersama anak kelas lain yang sedang memiliki jam olahraga. Mang Nua si penjual seblak mendekati Arkan, duduk di depan pemuda itu sembari geleng-geleng kepala.

"Ibukmu apa kabar, Ar?"

Arkan mengangguk menanggapi, namun tidak mengangkat pandangannya dari mangkuk seblak yang super duper enak. "Baik. Kenapa lo, Mang, nggak ada angin nggak ada petir nyamber tiba-tiba nanyain nyokap? Mau ngasih kambing?"

"Hah?" Wajah Mang Nua tentu cengo, mulutnya terbuka ketika mendengar hewan kambing. "Ngapain ngasih kambing ke ibukmu?"

Arkan mau tidak mau, dengan raut tidak rela akhirnya mendongak juga dari mangkuk seblaknya. "Nyokap tuh hobi berkebun, barangkali lo mau menyumbangkan kambing buat keluarga kami jadi nyokap punya hobi baru, beternak. Lumayan besok gue nggak susah cari kerja karena udah ada usaha di rumah."

Mang Nua ingin menempeleng Arkan, tapi mana mungkin karena dia lebih sayang pada kepala remaja itu. "Cuma nanyain kabar ibukmu, dulukan sering kesini buat bayarin utangmu."

"Anjir, nggak usah diperjelas gitulah, Mang."

"Sehat ibukmu?"

"Sehat, Mang Nua, nggak usah khawatir. Atau lo nanya begini karena kode soal utang-utang gue lagi, ya?"

Mang Nua melambaikan tangan, kepalanya menggeleng dengan bibir sedikit mencibir. "Bukan gitu loh, Ar, cuma penasaran sama kabar ibukmu aja kenapa isi kepalamu malah jadi overthinking kemana-mana."

"Dih, bawa-bawa overthinking segala."

"Ya lagian, niatku cuma nanyain kabar ibukmu buat topik ngobrol, malah jadi anyut kemana-mana. Lagian hutangmu nggak ada, semenjak naik kelas kamu jarang ngutang."

"Iya soalnya ketauan sama ayah kalau gue sering ngutang di kantin terus nyokap sering ke sekolah buat bayar utangnya. Diceramahin tujuh hari tujuh malem gue, Mang."

"Wah, parah," geleng Mang Nua membayangkan. "Kalau soal ngutang aja bapakmu semarah itu, soal cewemu gimana, Ar?"

"Lah, ngapa jadi buka kelas bimbingan konseling begini?" tembak Arkan dengan mata melolot. "Udah, ah, gue mau serius makan ngisi tenaga. Soalnya gue harus perang waktu nanti masuk kelas."

"Perang apa?" tanya Mang Nua masih belum konek.

"Ya perang sama gurulah, Mang, masa perang sama pensil inul punya si Zafran." Mang Nua malah jadi tertawa, padahal Arkan tidak ada intensi untuk berguyon. Kepalanya hanya teringat soal pensil inul Zafran ketika mereka masih duduk di sekolah dasar. "Lo nggak liat ini kantin kosongnya udah kaya kuburan? Karena yang lain udah pada duduk manis di kursinya masing-masing sambil dengerin guru ngejelasin pelajaran. Sementara gue masih di sini, niat makan seblak tapi malah jadi ajang adu bacot sama lo."

"His!" desis Mang Nua sambil berdiri. "Yaudah, pamit dulu."

"Sono jauh-jauh lo," timpal Arkan tanpa hati dan kembali melanjutkan ritual berharganya. Dia menelan suapan-suapan terakhir seblak itu dengan perasaan senang. Tidak sengaja, bayangan ketika ia memberikan sepatu pada Sarah mendadak mengetuk kepalanya. Senyum anak lelaki itu tertahan, dia benar-benar senang karena Sarah hari ini bergantung padanya. Walaupun sedikit agak aneh karena sepatu Sarah entah terbang kemana, tapi itu tidak penting bagi Arkan. Yang pasti, dia sudah menjalankan tugas terbaik hari ini.

Arkan bahkan tersenyum ketika suapan terakhirnya, dijangkaunya gelas es teh dan meminumnya dengan cepat. Dia harus segera mempersiapkan mental karena sekarang waktunya kembali ke kelas. Lelaki itu berdiri, melambaikan tangannya seraya berteriak pada Mang Nua yang sedang bersih-bersih. "Makasih, Mang."

SakanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang