32. Ruang Hampa

370 76 11
                                    

Keheningan itu mengendap, udara di dalam mobil kian menyesakkan dua kepala yang sibuk dengan monolognya masing-masing. Sarah tidak berkutik sama sekali di jok belakang, dia bertanya-tanya sendiri sebenarnya apa yang tersimpan dalam kotak hitam di jok depan. Sesekali dilihatnya sang papa dengan suara yang tenggelam, tiada mampu menyuarakan seluruh tanya. Diturunkannya kaca mobil, berusaha menghirup banyak udara segar dari sisa malam yang temaram.

"Bahkan bulan juga nggak keliatan," bisik Sarah pada dirinya ketika mendongak menatap langit.

Di jok kemudi, Tirto bergelut dengan dirinya sendiri. Setelah sekian lama mencoba untuk berdamai, kepala dan hatinya kembali bermusuhan. Disentak fakta paling menyakitkan yang tidak pernah ia bayangkan. Pria paruh baya itu tiada mampu melirik bungsu tercintanya di jok belakang, dia merasa malu dan tidak berguna sebagai seorang ayah. Momen-momen indah yang sempat ia janjikan pada Sarah, mendadak jadi kertas kusut yang tidak akan pernah bisa diperbaiki kembali. Tuhan ... sungguh malang putri bungsunya tersayang.

Setibanya di rumah dan mobil diparkirkan, Tirto keluar dari mobil untuk menutup pagar. Tidak lupa kotak hitam itu dibawa bersamanya. Sementara Sarah masih duduk di dalam mobil, mengumpulkan keberanian untuk bersuara pada papanya. Gadis itu mengusap wajah, menghembuskan napas panjang dan mulai membuka pintu.

"Pi," panggil Sarah ketika sang papa berjalan ke beranda rumah. "Jangan diem aja, Pi," seru gadis itu. "Papi jelasin dulu ke Ara, sebenernya ada apa dan itu kotak juga kotak apa, Pi?"

Sang papa memberikan tatapan yang tidak terbaca, yang nyatanya berhasil diartikan oleh Sarah, dia tahu akan ada jawaban terburuk. "Mami nikah lagi? Terus udah bahagia sama keluarga barunya?"

Papanya menggeleng, berbalik ke pintu dan mengeluarkan kunci rumah. Sarah tidak bisa diam saja dan berputus asa menerima diamnya sang papa, dia menyusul cepat. Saat Sarah tiba di ruang tamu, papanya tidak terlihat. Beberapa saat kemudian pintu kamar terbuka, sang papa keluar dengan tangan kosong. Kotak hitam yang Sarah pertanyakan tadi entah disembunyikan dimana, yang pasti sedang berada di dalam kamar papanya.

Pria paruh baya itu membawa bahu lesunya untuk duduk di sofa. Sarah mendekat, mengambil posisi untuk tetap berdiri tidak jauh dari papanya. Jantung Sarah mendadak berdegub kencang, kalau memang bukan karena sang mama yang menikah lagi, apalagi yang lebih buruk dari itu? Tenggorokan Sarah tercekat, pandangannya kabur.

"Nggak mungkin, Pi," geleng Sarah menolak fakta yang sedang terbang di dalam kepalanya.

"Ra," panggil papanya lemah. Pria paruh baya itu berdiri, berjalan dengan tangan terulur ke arah Sarah. Dipeluknya sang putri, mendadak ada isakan yang terdengar. Pria itu ingin terlihat kuat, tapi apa daya dia juga tidak mampu melakukannya. Disaat fakta paling menyakitkan perihal istrinya tengah mengawang tepat di inti hati dan kepalanya. "Papi harus apa, Nak?"

Sarat tercekat, "Pi, kita masih punya kesempatan ketemu mami, kan?" Tidak ada jawaban, melainkan pelukan sang papa yang makin erat. Sarah pun gagal kuat. Dia terisak lebih keras, teriakannya berpacu dengan pukulan pada dada sang papa. "Pi?"

"Mami udah nggak ada, Nak." Penuh luka, Tirto mengatakannya juga secara gamblang pada bungsu tersayangnya.

Gadis remaja itu melepaskan diri, terjatuh di lantai bersama langitnya yang terbelah. Bayangan indah yang sudah terlanjur ia jahit dalam kepalanya mendadak koyak moyak. Sarah memukul dada yang sesak, seperti ada godam baja yang menghimpitnya. "Pi, Tante Varah bohong 'kan, Pi? Bilang ke Ara kalau Tante Varah udah bohongin kita."

Sarah berdiri, lalu berlari membawa luka itu menuju kamar. Hatinya remuk sejadi-jadinya.

≥ s à k a n a ≤

Telapak kaki telanjang itu bertahan di atas lantai dingin, sedang badan rapuhnya tergeletak di atas sofa hitam. Lantangnya detak jarum jam ruang keluarga membuatnya kian terjaga walau jarum pendek itu sudah menunjuk angka satu. Napas beratnya keluar lagi, sepasang mata sayunya kembali menatap pintu kamar sang papa yang tertutup begitu rapat. Sangat rapat, seakan diberi seratus gembok dan masih ada pintu lagi setelah pintu. Seumur hidup gadis itu, ia tidak pernah merasa sehancur ini ketika ditinggalkan.

Langit yang sudah ia bangun tinggi selama bertahun-tahun hancur dalam hitungan detik. Nelangsa memakan rongga dadanya hidup-hidup tatkala papa mengabarkan hal yang sebenarnya. Fakta yang berteriak di telinga sukses membakar harapannya hingga tandas, bahkan tiada abu yang tersisa, benar-benar habis sudah.

"Mami...," lirih Sarah pedih membayangkan seorang mama yang tidak pernah dipeluknya.

Kepala gadis itu berdenyut, banyak hal yang seketika membebaninya. Terlebih, tentang kakak lelakinya. Kenapa Sagara tidak pernah mencari dan memberi kabar perihal mama, setidaknya memberitahu papa. Mengapa Sagara tidak pernah mendatangi mereka setelah ditinggalkan mama. Apa lelaki itu hidup dengan rasa percaya diri setelah kepergian mama, atau malah bergelimang nelangsa persis seperti penampakan Sarah sekarang. Banyak tanda tanya yang mengendap di dalam kepala Sarah dan itu baru dikarenakan oleh satu orang. Sementara, ada banyak orang di sekitarnya dan masing-masing mereka meninggalkan ruang tanya di kepala gadis itu.

Sarah bangkit dari posisinya, melihat lurus ke arah kamar sang papa. Dia mendekati pintu itu, mengusap permukaannya.

"Pi," panggil Sarah pelan. "Papi belum tidur, kan? Ara cuma mau bilang, kalau Ara bakalan cari tau dimana Kak Sagara. Ara bakal cari tau tentang dia, mau Papi setuju atau enggak. Ara bilang ini bukan untuk minta izinnya Papi, Ara cuma butuh Papi tau. Udah seharusnya kita bawa Kak Sagara pulang ke rumah, Pi, dia bagian dari kita. Kak Sagara udah terlalu lama sendirian, dan udah jadi tugasnya kita buat kasih tau ke dia kalau dia nggak sendirian."

Sarah menghela napas berat, "Papi harus tidur, Pi, lupain dulu yang baru nampar kita malam ini."

Gadis itu berbalik, dia membawa langkah untuk kembali ke kamarnya, meninggalkan sang papa yang sedang terduduk dimakan nelangsa di lantai kamarnya sendiri. Pria itu memejamkan mata yang sudah basah tatkala mendengar ucapan putrinya. Ketika kembali membukanya, dia hanya semakin putus asa menatap isi kotak hitam di hadapannya.

Yang Tirto mampu lakukan hanya menyalahkan dirinya sendiri. Badannya bergetar. Potret kecil Sagara dan Sarah membuat sesalnya menjadi-jadi. Dua malaikat kesayangannya yang terpaksa dipisah keadaan kini nyatanya sudah tidak memiliki ibu. "Maafin Papi, Nak, karena nggak bisa jagain mami." 

≥ s à k a n a ≤

Sabtu, 27/02/2021
☹️☹️

SakanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang