4. Calvin Klein

3.2K 411 24
                                    

Arkan menutup pintu mobilnya lalu berjalan menuju beranda rumah. Laki-laki itu mengeluarkan anak kunci dari saku celana, kemudian memasukkan benda tersebut pada lubang kunci dan memutarnya dua kali. Sukses terbuka! Barulah ia menolak satu dari dua pintu dan langsung disambut oleh gelapnya suasana ruang tamu.

Arkan mengukir senyum, dia baru ingat bahwa malam ini dia bebas. Mama dan ayahnya sedang pergi ke Bandung untuk menghadiri acara keluarga dari pihak ayahnya. Biasanya, jika sang mama di rumah, maka sudah dipastikan Arkan akan ia tunggu tidak peduli hingga jam berapapun.

Pernah dulu, Arkan baru kembali ke rumah pada pukul 2 pagi setelah menghabiskan waktu bermain bersama Zafran---biasalah, anak hits ibukota memang kebanyakan seperti itu dan Arkan mana mau ketinggalan. Ketika ia memasuki rumah, langkahnya tiba-tiba saja terhenti akibat pemandangan sang mama yang tengah terkantuk menatap televisi di ruang keluarga---Arkan ingat, ayahnya ada bisnis ke luar kota saat itu. Arkan langsung saja diliputi perasaan bersalah, tatkala dilihatnya begitu banyak cangkir kopi yang sudah mamanya teguk.

"Kenapa telat banget pulangnya, Bang?" tanya sang mama lembut dengan senyum terpaksa, seakan-akan sudah tidak bertenaga lagi namun demi Arkan, mamanya tetap mencoba tersenyum. Padahal, Arkan seharusnya diamuk dengan pisau dapur atau panci berat sekalian!

"Arkan anterin ke kamar ya, Ma," kata Arkan pelan, dituntunnya sang mama menuju kamar, membaringkan kemudian menyelimutkan sang mama dengan telaten. Terakhir, Arkan menghadiahkan kecupan singkat di dahi mamanya. "Selamat tidur, Ma!"

Lamunan Arkan sukses buyar ketika ia tersandung sesuatu. Bodohnya lelaki itu karena tidak menyalakan lampu dan bertahan bersama kegelapan. Arkan berjalan mendekati dinding, mencari sakelar yang posisinya tentu Arkan hapal.

Lampu menyala, membuat sekitarnya lebih terang benderang. Namun mata Arkan sempat pula menyipit untuk sesaat sebelum akhirnya ia dapat melihat dengan jelas penyebab ia tersandung. Sebuah box hitam tergeletak di situ entah untuk alasan apa. Arkan mengedikkan bahu, berjalan mendekati box lalu meletakkan benda tersebut di atas meja depan televisi. Mungkin mamanya lupa meletakkan kembali box tersebut sebelum ia pergi sore tadi.

Baru akan berbalik, namun sesuatu menarik perhatian Arkan. Ia baru menyadari bahwa box tersebut benar-benar bukan box sembarangan. Warnanya hitam legam, dengan ukiran yang dilapisi oleh tinta emas. Arkan jongkok, menatap ukiran tersebut lebih jelas. Jemarinya mulai menyentuh ukiran, sadar bahwa itu merupakan sebuah huruf. C dan K.

"Calvin Klein kali, ya?" Arkan memutar bola matanya ke atas pertanda bahwa ia tengah berpikir. "Wah parah sih nyokap. Jangan-jangan ini kotak isinya underwear lagi? Gila! Hadiah buat gue jangan-jangan? Makanya sengaja diletakin di lantai biar kejutan."

Arkan nyerocos asal sendirian. Kalimat yang ia lontarkan bisa saja benar atau malah jauh dari kata benar. Arkan mulai penasaran, setelah sejak tadi kepalanya hanya diisi oleh omelan Alessia perihal anjing perempuan itu, akhirnya Arkan menemukan hal lain yang lebih menyenangkan. Jemarinya mulai bergerak ingin membuka tutup box, namun sadar bahwa box tersebut tidak mudah dibuka karena ternyata dikunci dengan gembok kecil bernomor. Intinya, susun password angka maka gembok akan terbuka.

"Ini Calvin Klein beneran atau malah petasan, sih? Pakai digembok segala."

Arkan tampak berpikir, kemudian memutuskan membawa box itu bersamanya. Ia jadi makin penasaran dengan isi box tersebut. Jika disimpan sedemikian rupa, maka tentu saja isinya merupakan suatu hal yang penting.

"Kali aja isinya uang milyaran," pikir Arkan dengan otak kriminalnya, box tersebut sudah berada dalam pelukannya sementara kakinya senantiasa terus menuju kamar di lantai dua. Arkan membuka pintu kamar ketika tiba di depan pintu, masuk dan meletakkan box tersebut di atas meja. Dia ingin mandi lalu tidur.

Ponsel Arkan bergetar ketika ia hendak masuk ke kamar mandi. Takut saja bila yang menelepon adalah sang mama dan bertanya apa Arkan sudah di rumah atau belum. Arkan mendekat, menjangkau ponsel dari meja nakas dan melihat nama penelepon.

Benar. Ini mamanya. Tanpa pikir Arkan dengan cepat mengusap layar ponsel untuk menjawab panggilan, lalu meletakkan ponsel dekat telinga.

"Halo, Ma," sapa Arkan lebih dulu.

"Iya halo," jawab mamanya dari ujung telepon. "Abang udah pulang?"

"Udah," angguk Arkan. Lelaki itu memilih duduk sebentar di tepi tempat tidur karena ingin bercakap dengan nyaman. "Mama kok belum tidur?"

"Kepikiran kamu udah pulang apa belum." Arkan mencibir, sudah tahu saja alasan mamanya akan seperti itu. Arkan merasa diperlakukan seperti anak gadis. Bukan, bukan Arkan tidak menyukai cara sang mama. Hanya saja memang terlalu berlebihan bila terus menunggu kepulangan anak laki-laki yang sudah mau menginjak dewasa.

"Ma, Arkan udah gede," ucap Arkan memulai senjatanya agar sang mama termakan. "Mau sampai kapan Mama nungguin Arkan kayak gini? Kan Mama juga butuh istirahat. Lagian, percaya aja sama Arkan, Ma. Arkan di luar cuma buat main-main nggak kriminalan sama sekali."

"Udah kebiasaan," jawab sang mama tenang.

Arkan mengernyit, "Kebiasaan apa? Emangnya Arkan dari kecil sering main keluar? Nggak ada."

"Bukan ke kamu, Bang," ujar mamanya lagi dan Arkan kian dimakan oleh kebingungan. Mamanya memang suka berbelit-belit.

"Terus ke siapa?" tanya Arkan lagi, dahinya semakin mengernyit tanda tengah berpikir keras.

"Udah sana, tidur." Napas Arkan yang tertahan berubah terlepas begitu saja, kecewa karena mamanya bukan malah menjawab malah membiarkan teka-teki aneh itu berterbangan di kepala Arkan---minta segera dituntaskan. Arkan mengacak rambut, tahu bahwa percuma saja ia memaksa sang mama.

"Oh iya, Ma," ujar Arkan melarikan tatapan pada box hitam yang ia letakkan di meja. Sesaat Arkan diam, tiba-tiba merasa bahwa ada sesuatu yang tengah disimpan oleh mamanya. Dan Arkan tebak, box tersebut dapat menjadi jawaban. Arkan sendiri saja bingung, mengapa ia bisa memikirkan hal konyol seperti ini.

"Kenapa lagi? Udah sana tidur. Udah mandi, kan?"

Arkan menggeleng, bukan untuk menjawab tanya mamanya melainkan untuk reaksi bahwa ia sudah mengambil keputusan---Arkan pikir ada baiknya ia menyimpan dulu box itu bersamanya.

"Arkan?" panggil mamanya kembali dan Arkan tersentak.

"Iya, Ma?"

"Udah mandi, kan?"

"Belum," jawab Arkan seraya bangkit dari tempat tidur. "Tadinya mau mandi, cuma mama nelfon."

"Oh yaudah, sana mandi." Arkan mengangguk, mengiyakan ucapan mamanya. "Mama tutup, ya. Kamu hati-hati di rumah."

Arkan membiarkan sambungan terputus tanpa harus repot-repot menjawab ucapan mamanya. Laki-laki itu sudah melepaskan kausnya, hendak berjalan ke kamar mandi sebetulnya. Namun notifikasi chat yang masuk membuat Arkan diam.

Ale - Ale: Kamu telfonan sama siapa, sih?
Ale - Ale: Aku nelfon kamu dari tadi sibuk terus nomornya.
Ale - Ale: Arkan, bales!!

Arkana: Apa?
Arkana: Telfonan sama mama.
Arkana: Udah ya, aku lagi males, ngantuk mau tidur.
Arkana: Night, Al.

Arkan melemparkan ponselnya ke tempat tidur. Pesan Alessia hanya membuatnya kembali ingat pada perdebatan mereka di mobil tadi.

"Kalau kamu nggak mau belain aku sama anjingku, mendingan kita putus." Sialan! Mengapa kini Arkan yang sering diancam?

s à k a n a

[Rabu, 27 Juni 2018]

Tinggalkan komentar untuk part ini dong💜💜💜 Semoga kalian menyukai setiap partnya ya!

SakanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang