20. Ponsel Barunya Ara

1.4K 177 17
                                    

Sarah melonjak-lonjak kegirangan ketika ia melihat sebuah ponsel yang masih dibungkus kotak dan plastiknya bahkan terlihat masih bersih sedang dibawakan oleh pegawai toko. Senyum Sarah tidak surut, bahkan membuat para pegawai yang bekerja jadi ikut terheran-heran dengan kelakuan gadis berseragam itu. Sarah tidak acuh, dengan mata berbinar dan pipi merona, dia fokus melihat ponsel baru miliknya yang akan dibuka sebentar lagi. Kedua telapak tangan Sarah asik mengusap satu sama lain, kakinya bahkan sampai gemetar. Dia bersemangat dan gugup di satu waktu. Belasan tahun Sarah hidup, baru kali ini ia akhirnya dibawa ke toko ponsel dan diizinkan memiliki benda pipih itu. Tidak tanggung-tanggung, papanya rela merogoh kantung sedalam mungkin dan membiarkan Sarah memiliki ponsel merk terbaru.

Sarah sendiri bahkan tidak peduli dengan merk ponselnya, mau mahal, murah, atau menengah. Mau yang pakai seluruh umat, atau hanya ia satu-satunya. Yang terpenting bagi Sarah adalah komunikasi yang dapat ia mulai dengan teman-temannya lewat sebuah ponsel pintar. Sarah capek juga kalau terus-terusan menjadi bahan ejekan Ori dan disebut-sebut sebagai manusia batu atau adik dari Patrick Star. Sarah juga tidak enak karena selalu meminjam ponsel milik Kesha hanya untuk sekedar memberi kabar pada papanya. Dan yang paling membuat Sarah sering menahan malu, sebab ia harus tahan ketika anggota OSIS yang lain kerap menyindirnya akibat lelet terhadap info-info yang sedang panas dibahas.

Tanpa ponsel, Sarah lebih belajar menghargai sekitar. Bertukar cerita terasa lebih menyenangkan ketika kepala memilih rehat sejak dari dunia maya. Kadang Sarah hanya merasa kasihan pada teman-temannya yang merasa akan mati tanpa ponsel. Seakan-akan, digital benar-benar memperangkap setiap kepala mereka hingga lupa bahwa yang nyata terkadang jauh lebih baik. Sarah sendiri juga kadang merasa kuno, tertinggal jauh, menjadi sedikit norak dari orang kebanyakan, tetapi bayaran dari itu semua nyatanya cukup berharga. Dia jadi banyak menciptakan waktu bersama papa, bertemu teman yang memang tulus berteman dengannya tanpa memandangnya dari segi apapun. Bahkan ketika berpacaran dengan Hugo, gadis itu merasakan bagaimana perjuangan pacarnya untuk terus datang ke rumah hanya agar mereka dapat bertemu. Khas percintaan 90-an, bedanya Sarah dan Hugo dulu tidak pernah repot-repot bertukar surat.

Mata Sarah kini fokus, mulutnya perlahan terbuka bersamaan dengan kotak ponsel yang juga ikut terbuka. Bahagia sekali rasanya! "Papi, makasih, ya!" Sarah merengek di atas perasaannya yang membuncah, dia memeluk lengan sang papa sembari menyenderkan kepalanya ke bahu pria paruh baya itu. "Ara nggak sabar mau pakai foto papi, mami, sama Kak Sagara di hapenya nanti."

"Foto Ara nggak dipakai?"

"Loh iya juga," respon Sarah baru teringat. "Yaudah, nanti Papi sama Ara foto bareng, ya, di hape barunya."

"Harus." Sang papa mengangguk tidak kalah senang. Turut bahagia karena hatinya sudah cukup lapang untuk membiarkan Sarah tahu kebenarannya. Lantas ia memberanikan diri untuk memberi putri bungsunya ponsel dan sudah siap dengan kemungkinan-kemungkinan di depan nanti. Kali ini, yang ingin diusahakan oleh pria berstatus orangtua tunggal untuk putri tersayangnya itu adalah kebahagiaan. Sang papa tidak ingin ada lagi tangis yang luruh pada pipi putih itu di kala malam sebab teringat sosok mama. Dia tidak ingin melihat bahu yang kerap bersemangat berubah lesu sebab nilai ulangan tidak sesuai harapnya. Tidak pula ingin ada keputus-asaan yang ditelan sendiri oleh putrinya. Segala naik maupun turun, sang papa akan ikut serta. "Dipakai buat yang bermanfaat, ya, Ra."

Sarah yang sedang asik melihat ponselnya tengah dinyalakan, menoleh pada sang papa seraya mengangguk pasti. "Ara bakalan banyak belajar di sini, Pi. Bakalan download aplikasi tentang kedokteran sebanyak mungkin sampai Ara bosen belajarnya. Dan ngomong-ngomong, Ara nggak bakal bosen." Sarah terkikik geli, mengabaikan tatapan ngeri pegawai toko akibat mendengar ucapannya yang cukup gila.

"Iya-iya, terserah Ara aja. Asal enggak dipakai buat nyakitin orang lain."

"Yah enggaklah, Pi."

SakanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang