15. Si Heboh Zafran

1.5K 224 22
                                    

"Ar, Ar, liat nih!" Zafran mendorong bahu Arkan tidak santai ketika mereka berjalan di tengah koridor. Menunjukkan ponselnya dengan semangat tepat di depan wajah Arkan. "Akhirnya pihak OSIS nyebarin info tentang study tour juga!"

"Oh," respon Arkan seadanya dan terus melanjutkan langkah. Perutnya lapar minta diisi segera, belum lagi setelah ini akan ada ujian di kelas musik. Kalau bisa menutup mulut Zafran, mungkin Arkan sudah melakukannya sejak tadi. Teman laki-lakinya yang satu itu memang senang sekali berbicara tanpa takut salivanya mengering.

"Kok respon lo oh doang? Emang lo nggak seneng kita jalan-jalan? Kita usulin luar negri ajalah. Gimana?"

Arkan diam saja. Mau dalam ataupun luar negeri, dia benar-benar sedang tidak bersemangat untuk pergi kemanapun dalam waktu dekat ini. Arkan sendiri juga bingung mengapa hari-harinya malah berubah datar seperti sekarang---walaupun sebelumnya tidak berbeda jauh, hanya saja kali ini lebih dapat dirasakan oleh Arkan.

"Diem dah luh, gue laper," ujar Arkan kemudian mempercepat langkah kakinya.

"Ar, tungguin gue!" Zafran berteriak sambil ikut berlari menyusul Arkan yang sudah lumayan jauh berada di depannya. "Nih makhluk, banyak banget malesnya."

Sedari SD, Arkan dan Zafran sudah menjadi konco sepermainan. Mereka menghabiskan enam tahun sekolah dasar, ditambah tiga tahun sekolah menengah pertama di yayasan islam. Hingga kini di sekolah menengah atas pun, mereka tetap bersama-sama. Kadang kala salah satu dari mereka kerap bertanya-tanya mengapa mereka bisa betah untuk bersekolah di tempat yang sama. Arkan yang paling sering mengajukan protes, namun Zafran dengan tenang dan asik akan menanggapinya dengan candaan.

"Kita jodoh, Mas Arkan," begitu kata Zafran dan selalu sukses memancing emosi Arkan.

Sesampainya dua konco itu di kantin, mereka langsung mengambil tempat di bagian yang juga ramai diisi oleh teman-temannya. Sedikit di bagian pojok tapi tidak terlalu, yang penting dekat dengan konter makanan sehingga memudahkan mereka memesan. Walau masih duduk di kelas sebelas, namun para penjual di kantin sudah menghapal wajah dan nama mereka dengan baik---dan hal tersebut sangat-sangat membantu para siswa laki-laki untuk mengutang terlebih dahulu, termasuk Arkan dan Zafran yang beberapa kali juga menjadi oknum tukang utang dengan dalih uang sudah habis membayar kas kelas.

Arkan mengangkat tangan, mengode Mang Nua dan menyebutkan pesanannya. "Batagor doublenya, Mang, satu piring!" Arkan kini melihat Zafran, seperti biasa akan mewakili teman aliennya itu. "Lo apaan? Makan apa liatin doang?"

"Setan!" kata Zafran tidak terima. Akhirnya ia menoleh pada Mang Nua dan meneriaki pesanannya. Arkan selalu saja seperti itu ketika berniat menanyakan pesanan Zafran. "Mang, seblaknya satu mangkuk gede, ya! Jangan pedes-pedes banget, Mang, kemarin perut gue bocor karena pedes banget seblak lo."

"He yaiyalah, lu nya minta lima sendok cabe ya gue masukin segitu, Zafran!" Mang Nua tidak mau kalah. Dia menjawab dengan santai pula seraya mengikuti gaya bicara siswa siswi Reverie. Kalau yang bicara sopan, Mang Nua akan menyambutnya lebih sopan. Kalau seperti setan sedikit, Mang Nua juga akan berlaku sama. Apalagi yang bentuknya seperti Zafran, butuh tenaga ekstra untuk lelaki pecinta biskuat tersebut. "Ini dibayar lunas nggak, nih?" tanya Mang Nua sebelum membuat pesanan mereka.

"Tenang aja, Mang, si Arkan baru gajian."

"Mata lu sepuluh! Enak bener bilang gue gajian! Bayar sendiri-sendiri!" Arkan menekan setiap kalimatnya dengan gas tanpa rem, membuat Zafran yang tadinya berjarak lumayan dekat jadi menjauh karena ngeri.

"Serem lo, Ar, gitu doang udah darah tinggi."

"Mending diem lo, Zaf!"

"Galau ya lo? Alessia kenapa?" Zafran memperbaiki duduknya, entah sedang mencoba memberi perhatian atau malah ejekan. "Putus nyambung mulu lo berdua kayak benang."

SakanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang