[01] Segaris Senyum

949 149 26
                                    

○○○

Ini awal hari, matahari baru menyapa bumi di ufuk timur sana. Gerbang tempat menimba itu terbuka lebar, maka masuklah rombongan manusia berseragam itu. Memberi salam, menyalami tangan gurunya—walau tidak tentu sudah memberi salam atau menyalami orangtuanya di rumah.

“NATHANIEL, TURUN DARI MOTORMU!” Sang guru berteriak pada siswa yang dengan lancangnya menaiki motor saat sedang ada razia pagar—di SMANCITY menyebutnya begitu.

“Pak, tapi saya lagi buru-buru. Maaf ‘ya, Pak!” Guru itu melotot tak menyangka, kumisnya juga naik beberapa sentimeter.

Memang kurang ajar si Nathaniel ini. Sudahlah di rumah tidak menyalami tangan orangtua, di sekolah juga tidak menyalami tangan gurunya. Tidak, sebenarnya itu bagus. Artinya dia tidak bermuka dua. Untuk apa pura-pura teladan dan baik di sekolah kalau kurang ajar di rumah?

Maka Nathan bersabda, “Kalau di rumah brengsek, di sekolah harus bajingan.”

Demi apapun, lelaki bernama Nathaniel Jenovian ini sangat tidak toleransi pada manusia bermuka dua. Ia akan membuat manusia tersebut marah, dan melihat reaksinya. Di situ akan kentara.

Terkadang ia tak mengerti dengan dunia manusia. Kalau bisa jujur, kenapa harus bohong. Seperti dia, yang berperilaku brengsek tanpa tahu malu. Ah, tapi ini manusia. Mereka berbeda-beda ‘kan.

“Nathan, aku suka sama kamu!” Baru juga memarkirkan motornya, sudah ada gadis mengenaskan di depannya yang menyatakan cinta—suka maksudnya.

Nathan mengangkat sebelah alisnya, lalu tersenyum manis sekali. Seperti halnya rokok, ia harus membakarnya, menghisapnya agar nikmat—

“Tapi gue gak suka sama lo.”

—lalu menginjaknya saat sudah habis.

Nathan berlalu begitu saja. Ini awal hari, bukan? Harusnya ada hal yang lebih menarik dari yang tadi. SMA Neo City memang biasa-biasa saja. Nathan juga. Senyumnya saja yang sangat manis, makanya dia selalu mendapat pernyataan sampah seperti itu.

Menyisir rambut dengan jemari, lelaki itu berjalan menyusuri koridor yang sudah tak sepi lagi. Memasuki kelas dengan angkuh, duduk di bangku tanpa disuruh, lalu tertidur saat kesadarannya telah runtuh.

XI MIPA 5 adalah saksi bisu bagaimana Nathan membuat pulau. Hidupnya memang sesantai itu. Berangkat pagi, tidur di kelas, makan di kantin, lalu pulang dengan sedikit ilmu. Di rumah dia belajar, kok. Kalau kau berteman dengan Nathan, tidak ada yang kau dapatkan darinya.

Poin plus dari hidupnya hanyalah—jenius, berwajah rupawan dan murah senyum. Demi apapun sangat murah sampai kau bisa mendapatkannya dengan gratis. Ah, ada lagi. Marahnya seorang Nathaniel Jenovian itu sangat mahal. Bahkan ketika kau menjambak rambutnya hingga botak—lelaki itu hanya tersenyum.

Pak Winarto—guru fisika—menagihnya tugas saja hanya ia beri senyuman.

“Nathan, bangun! Hari ini kamu gak boleh tidur!” ucap Pak Certo—guru BK—ketika memasuki kelas untuk razia.

Nathan terpaksa mengangkat kepalanya dari meja dan berujar, “Saya gak tidur, Pak. Saya hanya memejamkan mata dan tanpa sengaja terbawa arus mimpi.”

“Gak usah sok puitis, kamu bukan anak bahasa!” sanggah sang guru.

“Lho, berarti anak IPS gak boleh pinter matematika dong, Pak.” Kumis tipis sang guru naik beberapa sentimeter, lalu memukul rotan ke meja Nathan.

“Udah, gak usah banyak cing cong! Mana tas kamu?” Maka diserahkanlah tas buluk dari jaman SMP itu.

Pak Certo mengeceknya, lalu memandang Nathan dengan ragu. Beliau lalu mengembalikan tas lelaki itu dan melanjutkan razianya. Nathan tersenyum, bukan tanpa alasan lelaki itu mengulur waktu. Untung sekali ia ingat kalau Willie membawa rokok. Dasar bocah tolol.

“Wil, seblak depan SMANZONE jangan lupa!” teriaknya tanpa segan.

“Siap, komandan!” jawab Willie dari pojok sana.

Nathan mengeluarkan buku matematikanya, lalu mengerjakan tugas minggu lalu yang belum sempat—bukan. Lebih tepatnya, yang sengaja ia abaikan. Pak Certo tidak peduli, beliau sedang asik memburu alat rias milik siswi.

“Lho, Pak. Masa punya saya disita semua, sedangkan tas punya si Keyna bahkan gak disentuh sama sekali!” Protes gadis itu menggebrak gendang telinga Nathan saat otaknya baru menyusuri soal ketiga. Maka menolehlah ia, menatap gadis tanpa emosi yang hanya diam saat gadis yang satu menunjuk-nunjuk wajahnya.

Keyna ini, benar-benar seperti patung ‘ya.

“Itu bukan urusan kamu, Ayu.” Sang guru melenggang pergi begitu saja, tak peduli pada Ayu yang sudah marah-marah karena alat riasnya disita semua.

“Heh, Keyna! Gue mau lo ganti semua make up gue yang disita sama si kumis segaris itu!” ucap Ayu dengan nada tinggi.

Dapat Nathan lihat, Keyna hanya mengangkat sebelah alis di sana. Ah, ini menarik. SMANCITY akhirnya mempunyai pertunjukkan yang hebat.

“Lo bisu ‘ya? Apasih yang ada di tas lo?! Oh, lo nyogok ‘ya? Sini tas lo!”

Ayu hendak mengambil paksa tas Keyna, sebelum tangan Nathan menahannya. Lelaki itu menatap datar gadis di depannya ini. Oke, sedikit membosankan saat Nathan muncul. Walaupun kelas jadi makin sepi.

“Pak Certo yang gak adil, jangan ganggu dia yang dari tadi diem. Lagian, berapa kali make up lo disita dan berapa kali lo ngulangin kesalahan lo? Lo harusnya sadar, untuk ukuran anak SMA, lo terlalu menor. Mending lo ke perempatan aja sana,” ucap Nathan.

Ayu menatap lelaki itu tidak percaya. Dari nada bicaranya, Nathan memang tidak marah, tapi suara rendahnya bahkan terdengar sangat menyeramkan. Ini pertama kalinya Nathan begitu, biasanya ia masa bodoh dengan keadaan.

Nathan menghempaskan tangan Ayu, lalu beralih menatap Keyna yang masih bertahan dengan wajah temboknya. Ingin ia gigit saja wajah itu. Nathan benar-benar gemas. Harusnya bocah tanpa emosi itu melawan, kenapa hanya diam seperti orang tolol?!

Lelaki itu kembali ke bangkunya, lalu mengecek ponselnya yang tiba-tiba bergetar—ada notifikasi. Ia menoleh ke bangku Keyna lagi, lalu pandangan mereka bertemu.

Gadis itu tersenyum tipis—SANGAT TIPIS HINGGA RASANYA NATHAN INGIN MENGUBUR DIRI.

Untuk pertama kalinya, ia bersyukur telah mencampuri urusan orang lain. Dan untuk pertama kalinya juga, ia tidak membalas senyuman orang lain dan malah mematung seperti orang tolol. Sekarang, siapa yang tolol?

Emotions.

Karena ini gak ada sangkut-pautnya sama series pertama, kalian gak perlu baca yg itu dulu sebelum yang ini. Tapi klo mau baca mah ya kagak ngapa-ngapa.

Emotions✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang