[18] Berpisah

344 80 1
                                    

○○○

Langit menyapa dunia dengan sendu, angin berembus dengan sesak, tapi gadis yang baru saja terbangun itu tetap menerimanya dengan senyuman.

Keyna menatap tangan kirinya yang terpasang dua gelang di sana. Juga cincin permata sederhana yang melingkar apik di jari manisnya itu. Nathan membelikan sepasang kemarin malam saat mereka jalan-jalan.

Ia bergegas ke kamar mandi. Dengan suka cita membasahi tubuhnya, menyabuni, keramas, dan menyikati giginya yang dasarnya sudah putih sehat.

Setelah beberapa menit, gadis itu selesai dengan acara mandinya. Dia lalu memakai seragamnya, memoles sedikit wajahnya, dan menyemprotkan minyak wangi. Ditatapnya pantulan diri di cermin, tersenyum sejenak, dan akhirnya keluar kamar dengan riang.

Di ujung anak tangga terakhir, alisnya naik beberapa sentimeter. Ada Susi, Doni, dan Rafli di sana. Sepersekian detik berikutnya, Renita datang dengan nampan berisi tiga gelas teh.

“Ada apa?” tanyanya setelah sampai di ruang tengah.

“Nathan pergi,” jawab Susi sambil menatap Keyna penuh yakin.

Keyna tersenyum dan menimpali, “Aku gak janjian berangkat bareng, kayak biasa aja berangkat sama Papa.”

“Bukan itu, Keyna. Nathan dapat undangan beasiswa di JYP University. Dia sengaja gak mau kamu tahu—maaf,” koreksi wanita itu yang kini tengah menunduk.

“Sebentar—apa? Nathan—Nathan—jangan bohong! Dia bahkan baru aja PTS! Gimana bisa dia—dia—“ Dan gadis itu terjatuh, pun dengan air matanya.

Renita hendak menghampirinya, tapi ditahan oleh Keyna yang berteriak meminta semuanya pergi. Dia masuk kembali ke kamar, menguncinya, lalu menangis sendirian. Persetan soal bedaknya yang luntur.

Gadis itu terus menangis. Kalau Nathan jujur padanya, ia akan dengan senang hati memberi semangat dan melepasnya dengan ikhlas. Namun, apa-apaan semua ini?! Kenapa harus diam-diam?! Keyna merasa Nathan tidak benar-benar mencintainya.

Keyna tahu kalau lelaki itu kaya, berprestasi, dan tampan mengalahkan Don Juan. Tapi, apakah dia tidak punya hati? Bagaimana bisa ia meninggalkannya tanpa pamit?

“Baj*ngan!” Dan ini adalah umpatan perdana yang keluar dari lisannya—ditujukan pula untuk lelaki pertama yang mampu menggetarkan hatinya.

Gadis itu beranjak, melangkah gontai ke ranjang, lalu ambruk dengan tangisan lagi. Dia menatap sekitar, tiba-tiba teringat di mana Nathan memeluknya di sofa—semuanya terputar bagai film dokumentasi. Tak sengaja pula matanya menangkap secarik kertas di meja belajarnya.

Diambilnya, lalu mengernyit ketika tahu kalau itu adalah sebuah surat—tulisan tangan Nathan. Dengan takut ia buka dan membacanya. Dari kalimat pertama saja sudah membuatnya menangis lagi.

Kau mau tahu isi suratnya? Aku akan beritahu walau kau tak mau tahu sih sebenarnya. Begini ;

_______________________________________________


Hai, Keyna Araminta.

Sebelum itu, aku harap kamu gak lagi nangis pas baca ini. Kamu tahu ‘kan aku gak suka lihat kamu nangis. Jadi, senyum ‘ya!

Kalau kamu baca ini jam 06.00 AM, berarti aku udah pergi. Kamu tahu, murid tukang tidur kayak aku dapat undangan beasiswa dari JYP. Maaf karena gak ngasih tahu, karena kayaknya kamu lebih suka bakwan.

Aku tahu aku jahat. Tapi asal kamu tahu, aku gak kuat jauh dari kamu, maka dari itu aku gak bilang. Lebih baik kita pisah tanpa tatap muka, daripada pamitan resmi dan berakhir aku nangis di depan kamu.

Emotions✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang