[06] Cinta

516 108 8
                                    

○○○

Ini hari libur, kau tahu? Apa yang kau lakukan ketika akhir pekan seperti ini? Belajar, main bersama teman, ataukah—rebahan saja? Kalau Nathan, sudah pasti pilihan terakhir. REBAHAN.

Hari ini juga hujan. Ah, hujan diakhir pekan, sungguh membuat Nathan senang bukan kepalang. Dia jadi tidak perlu melakukan apa-apa dan tetap mengubur diri di balik selimut bergambar Mickey Mouse-nya.

Sebenarnya hari ini ia berencana mengajak Keyna jalan-jalan ke Stay City. Walaupun keindahan kota itu tidak seberapa dari Neo City—tetap saja Nathan tidak bisa untuk tidak terpesona. Sebentar, kumohon kau jangan bernyanyi karena kata itu. Cukup, cukup di aplikasi itu saja.

Karena aktifitas Nathan diakhir pekan yang dilanda hujan ini tidak menarik, maka akan kuajak atensimu pada Keyna saja. Mungkin gadis itu mempunyai hal yang lebih berguna.

Ah, rupanya Keyna tak jauh beda. Masih di ranjang, masih memakai selimut, bedanya—dia setengah duduk. Di sana juga ada Renita. Mereka sedang bercerita tentang sesuatu, ayo kita curi dengar.

“Apa yang kamu rasain?” tanya Renita.

“Aku gak tahu. Yang pasti, aku gugup, terus wajahku panas, dan waktu lihat dia senyum itu—rasanya tenang banget.” Di sana Keyna menjawab dengan antusias—tanpa sadar.

“Itu...apa ‘ya, kak?” tanyanya.

Renita tersenyum, mengusak rambut Keyna dengan gemas. Wanita itu lalu menjawab dengan pertanyaan, “Kamu jatuh cinta?”

“Apa? Jatuh...cinta? Maksudnya?” bingung si gadis, membuat Renita kembali tersenyum.

“Jatuh cinta itu...abstrak. Kamu merasa senang di dekatnya, lalu sedih kalau dia pergi, dan marah ketika dia bersama orang lain. Itu definisi menurut kakak,” jawab Renita.

“Apa aku boleh jatuh cinta?” tanya Keyna lagi.

“Boleh. Semua orang boleh. Orang miskin, orang kaya, pejabat, anak kecil, remaja, orang tua, semuanya—termasuk kamu,” jawab Renita.

“Seseorang bisa menikah, awalnya karena jatuh cinta. Nah, kamu ini—hasil dari cinta orangtua kamu.” Renita mulai menjabarkannya.

“Tapi Papa dan Mama pisah. Itu namanya, putus cinta ‘ya?” tanya Keyna dengan polos.

Eum, terkadang cinta itu bisa sementara atau bahkan selamanya. Mungkin Papa dan Mama itu punya tujuan yang beda, jadi cintanya bersifat sementara.” Renita menjawab dengan hati-hati. Setidaknya agar emosi Keyna tetap stabil.

“Kalau Mama itu cinta sementaranya Papa, kak Renita mau gak jadi cinta selamanya Papa?” Ah, itu pertanyaan tidak terduga.

Renita membeku, lalu tersenyum kikuk dan menggaruk tengkuk yang bahkan tidak gatal sedikit pun. Kentara sekali kalau wanita itu sedang gugup.

“Kak Renita gugup. Kakak jatuh cinta ‘ya?” tanya gadis itu lagi, membuat Renita makin membeku.

“Kak, aku mau nanya lagi!” ucapnya, dan langsung diangguki oleh Renita.

“Kalau ciuman itu, juga pertanda jatuh cinta ‘ya?” tanyanya.

“Udah pasti, Na. Kalau kedua belah pihak udah berani kontak fisik yang lumayan intim kayak ciuman, itu bukan jatuh cinta lagi—tapi, sudah menjalin sebuah hubungan. Pacaran atau bahkan sudah menikah misalnya.” Renita menjawab panjang lebar.

“Oh, begitu. Berarti kakak sama Papa kayak gitu ‘ya? Aku lihat waktu itu kalian ciuman di dapur. Jadi, kalian pacaran atau menikah?” Dan Renita ingin menghilang saat itu juga.

Keyna ini, sangat blak-blakan.

Gadis yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri itu, selain tidak bisa mengontrol emosinya—ternyata juga tidak bisa menetralisir kepolosannya. Pasiennya yang satu ini, huh.

Ah ya, benar—pasien. Aku lupa memberitahu, bahwa Renita adalah seorang psikiater. Tiga tahun ini, Renita yang membantu Keyna menang dalam perang melawan emosi. Dan seperti yang Keyna katakan, Rafli dan Renita—terbelit jaring cinta lokasi.

Hebat, bukan? Jangan jawab iya, kuanggap itu biasa saja. Yang menganggap hebat itu si Keyna.

○○○


Hari kian berganti, waktu masih berjalan, dan aku tebak—kau masih mengharapkan orang yang tak bisa kau miliki. Sudah kubilang, cinta itu bodoh. Lebih baik membaca narasiku—tidak terlalu bagus, tapi bisa jadi bahan halu sampai mampus.

Ini hari Rabu, kalau kau mau tahu. Jangan jawab kau maunya tempe, aku tidak punya.

“Nathan, bangun!” gertak Pak Doy—guru Fisika baru. Beliau guru magang, omong-omong. Usianya baru memasuki tahun ke-24. Cukup muda, cukup tampan, dan cukup membuat Nathan muak.

“Iya, Pak.” Nathan menjawab dengan malas.

Pelajaran pun dimulai. Di pojok sana, Keyna antusias—karena dia suka fisika. Sedangkan Nathan, jangankan suka—mendengar kata ‘fisika' saja dia ingin muntah. Padahal secara logika, kalau tidak ada fisika—bagaimana dunia tahu kenapa manusia bisa berpijak pada bumi dan lain sebagainya?

Oke, lupakan. Aku tahu kau juga malas membahas mata pelajaran menjengkelkan itu.

Nathan hanya berdoa kalau bel istirahat cepat berb—

Kringggg!!!

Oh yeah, akhinya setelah sekian lama! Oke, itu hiperbola. Ah, siapa peduli, yang penting Nathan bebas dari fisika—setidaknya hari ini. Lelaki itu lalu mengemasi bukunya dan melangkah menuju bangku Keyna.

Gadis itu menoleh, lalu kembali fokus pada catatannya. Walaupun Nathan tahu kalau Keyna tidak mengabaikannya, tapi itu cukup mengecewakan. Gadis itu benar-benar pendiam. Haruskah...ia ciu—

“Nathan, ayok ke kantin!” Sial, Willie sial! Selalu saja lelaki itu menghancurkan fantasi Nathan yang kurang ajar.

Keyna, mohon maafkan dia.

Willie menarik paksa pergelangan tangan Nathan, sampai di depan kelas—lelaki itu melepasnya. Nathan merengut kesal, sangat kesal.

“Nathan, lo masih ngurusin cewek itu?” tanya Willie, seminggu yang lalu juga seperti itu. Intinya sudah banyak kali lelaki itu menanyakan hal yang sama.

“Gue akan buat dia mengalami emosi paling menyenangkan—cinta!” jawabnya, lalu kembali ke kelas. Meninggalkan Willie yang sudah berdecak sebal.

“Hai, Keyna!” sapanya, lalu duduk di sebelah gadis itu.

“Hai, Nathan.” Dibalasnya ia, lalu giranglah lelaki itu.

“Nathan, aku mau tanya.” Nathan menatapnya, lalu mengangguk.

“Kata kakakku, aku lagi jatuh cinta. Kamu pernah gak? Kapan? Rasanya gimana?” Nathan terdiam, sedikit sakit kala sang pujaan hati ternyata sudah tertarik pada manusia lain.

Halah, bukan Nathan namanya kalau langsung lengser. Prinsipnya, kalau diberi bensin—'ya gas saja!

“Pernah, sekarang, di sini. Rasanya manis, kayak—“

Wajah lelaki itu kian maju—membuat Keyna mundur secara reflek. Hingga saat kepalanya menyentuh tembok, ia tak bisa menghindar lagi dan berakhir memejamkan mata.

Nathan, aku tak menduga kau akan nekat.


Emotions.

Emotions✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang