Kedekatan antara Atlantas dan Abel yang sudah menjadi buah bibir di kalangan para siswa-siswi Delton masih saja menyebar luas sampai hari ini. Berita yang simpang-siur membuat Abel benar-benar merasa tidak bebas. Yang ia lakukan hanya berdiam di kelas bersembunyi dari orang-orang yang menatapnya penuh penilaian.
“Lo nggak mau ke kantin, Bel?”
“Mau,” jawab Abel. “Tapi malu,” sambungnya lesu. “Abel belum siap keluar.”
“Astaga, Abel.” Naida berdecak. “Ada gue sama Cassia, ngapain lo takut?”
“Belum siap, Nai.”
“Sini ikut gue! Kita hadapi sama-sama. Kalau ada yang omongin lo bakal gue cakar mulutnya. Lo tenang aja, gini-gini gue dulu sering labrak adik kelas pas SMP.”
Abel tertawa pelan. “Ada-ada aja.”
“Serius gue.”
“Iya-iya percaya.”
“Wakru istirahat tinggal 15 menit, guys.” Cassia memberi tahu. “Mau ke kantin sekarang?”
“Iya, sekarang aja.”
“Ayo, Bel,” ucap Cassia sambil menarik pelan tangan Abel yang terasa dingin. “Takut itu wajar. Tapi, kalau bikin lo nggak bisa ke mana-mana kayak gini jadi susah sendiri, kan?”
Abel mengangguk lesu.
“Tenang aja ada kita, kok.”
Abel tersenyum hangat. Ia bersyukur memiliki teman seperti Naida dan Cassia ini.
Pintu kelas terbuka, Atlantas berdiri di depan sana bersama beberapa orang di belakangnya.
Tiba-tiba kelas jadi ricuh. Para siswi-siswi kaget atas kehadiran Atlantas yang tampak memukau walaupun semua kancing seragam cowok tersebut sudah terlepas.
“Kak Atlas ngapain, sih?” batin Abel.
Atlantas berjalan memasuki kelas X IPS-1 dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana.
“Ikut gue.”
Abel mendongak untuk bisa menatap wajah Atlantas karena posisinya yang masih duduk di kursi.
“Ke mana?”
“Bisa nggak sih kalau gue ngomong lo nggak usah banyak tanya?!”
“Sensi banget, sih. Lagi PMS, ya?” Abel lagi malas untuk berbicara sekarang. Terlebih-lebih lagi dengan kondisi hatinya yang memang buruk dari kemarin.
“Lo?!”
“Kak Atlas ngapain sih ke sini? Bikin kelas Abel jadi ribut aja. Pulang sana! Balik ke kelas!”
Seisi kelas melongo. Tidak percaya dengan apa yang barusan mereka lihat dan dengar.
”Anjer berani banget Abel bentak Kak Atlantas.”
“Jangan-jangan emang pacaran lagi?”
Abel memijit pelipisnya. Ia benar-benar merasa pusing. Dari pagi tadi ia belum sarapan sedikit pun.
”Kak Atlas mending balik ke kelas aja deh sana.”
Atlantas mencoba untuk sabar. Dengan pelan ia menyentuh pergelangan tangan Abel dan menariknya. “Kata Banu lo belum malam dari malam tadi. Ikut gue, kita makan.”
Abel specheless. “Ini beneran kak Atlas?”
“Hm.”
Abel menunduk. Melihat tangannya yang di genggam oleh Atlantas. Seketika detak jantungnya mulai berdetak cepat di dalam sana. Wajahnya kian memerah dengan seiringnya langkah mereka menuju kantin.
KAMU SEDANG MEMBACA
ATLANTAS || END
Fiksi Remaja[ Winner of the co-writing event held by TWT] Warning ⚠️ Terdapat banyak kata-kata kasar, harap bijak dalam membaca. Bandidos, siapa yang tidak mengenal nama Geng Motor terbesar di Jakarta tersebut. Diikuti oleh ratusan anggota dari berbagai siswa...