❝ I'm gonna let you in on a secret
I'm so afraid of letting my skeletons out
so I bottle them in. ❞
.
.
.
.
"Minho?"
Tersentak, si pemilik nama menoleh dengan alis terangkat. Hyunjin menghela napas dengan senyum pias lalu mengusak rambut pemuda di hadapan dengan gemas.
"Sedang mikirin apa? Kamu dari tadi keliatannya nggak fokus."
Minho menggeleng cepat. Ia melirik pagutan tangan mereka yang merenggang sebelum ia buat kembali mengerat. Hyunjin tertawa kemudian membiarkan langkah mereka dituntun yang lebih tua.
Tujuan kelas mereka berbeda. Hyunjin terpaksa melepas kebersamaan mereka tak rela. Namun sebelumnya Hyunjin melayangkan sebuah kecupan di sudut bibir sang kekasih, buat Minho membelalak dengan semburat merah muda samar di kedua pipi.
"Hyunjin! Nanti ada yang lihat!"
Adik tingkat tak perduli, justru tertawa geli. Minho menggemaskan walaupun tatapannya berapi. Bersyukur mereka sebab hari sabtu tak banyak yang mengambil kelas tambahan, hingga koridor masih terpantau jarak aman.
Ibu jari Hyunjin menggapai halus permukaan kulit rahang Minho yang tampak menegang. Sesaat kedua netra bertemu, Minho tak mengerti mengapa tatapan Hyunjin mendayu, mengadu, menyimpan pertanyaan yang jawabannya tak ia temu. Hyunjin terlalu dalam menyelami obsidian coklat gelap sang pujangga, tak pungkiri akibatkan Minho semakin gugup dalam tegaknya.
Apa yang salah?
Keduanya hanturkan pertanyaan yang sama walau tidak dilontarkan gamblang lewat suara.
"H-hyunjin?"
Rambut legam Minho dibubuhi tepukan lembut. Hyunjin tarik langkah, mundur sebelum berkata, "Hari ini aku ada latihan sampai malam. Kamu pulang sendiri, nggak masalah, kan?"
Samar Minho beri anggukan ragu, tak sempat pula menjawab jelas sebab Hyunjin sudah lebih dulu pamit dalam tapakan terburu. Minho mengutuk dirinya yang melemah sejak beberapa hari silam. Semuanya tidak terasa benar, tapi ia tidak tahu apa yang salah: apakah perasaannya terguncang atau memang tempat itu tidak pernah terganti oleh pendatang? Minho tatap punggung Hyunjin yang hilang di telan ruang, meringis dengan secercah harap yang diam-diam ia rapal di tengah hatinya yang tak ijinkan sedetikpun tenang.
.
"Break dulu deh, 30 menit. Jernihin semua pikiran kalian, biar stay di tempatnya."
Seusai pelatih berikan instruksi, para pemain membuang napas sembari memisah diri; menuju bangku stadion untuk menikmati angin, kembali ke lapangan sekedar berlatih ringan ataupun ada juga yang menuju kantin. Hyunjin menyeka keringatnya, hendak naik meninggalkan lapangan sebelum langkahnya dicegat oleh seseorang.
"Nih, gratis."
Sodoran air isotonik tersebut ia terima dengan senyum. Ia meneguk khitmad, kemudian melirik pemuda di hadapan yang menatap lurus ke lapangan.
"Thank you, Jeong."
Mereka duduk bersebelahan, berdiam untuk beberapa menit hingga Hyunjin buka percakapan, "Tumben kemari?"
Jeongin toleh pandang, tersenyum singkat dan kemudian bibirnya maju untuk beri sinyal menunjuk seseorang, "Nungguin dia."
Hyunjin temui sasaran dan mengangguk pelan, walaupun kini senyuman miringnya membuat Jeongin hampir melayangkan sebuah pukulan, "Hanya teman!" Hyunjin tertawa puas dengan reaksi Jeongin yang tampak heboh, seperti habis dipergoki hingga mencari alibi.
"Aku nggak bilang apa-apa padahal."
Keduanya terdiam lagi, menikmati angin yang terpa wajah seraya mata menerawang berbagai posisi. Sampai saatnya peluit tiba-tiba berbunyi, keduanya bangkit dan saling menghadap, hendak pamit pergi. Hyunjin yang terlebih dahulu melangkah dengan genggaman pada botol air minum yang terangkat dan dibalas senyuman singkat oleh pihak seberang. Selepas lelaki itu pergi, ia dapati Guanlin menuju ke arahnya, tersenyum aneh dan sudah berhasil buat Jeongin menebak akan kata apa yang akan diucapkan teman baiknya itu untuk menggoda.
Bahu kecil Jeongin disikut, tambahkan raut muka si empunya yang semakin kecut.
"Seru banget ya, ngobrol berduaan."
Kemudian Guanlin mengaduh kesakitan oleh pukulan dadakan di bahu kanan, sebelum akhirnya terkekeh tak tahan. Jeongin sudah berubah menjadi tomat, malu teramat sangat. Niat rahasia emang tidak bisa ditutupi jikalau lawannya si lelaki menjulang yang jabat sebagai sahabat sejak masa taman kanak-kanak. Salah Jeongin yang terlalu terbuka atau memang Guanlin saja yang mudah tebak dirinya.
Kelabakan, Jeongin menggenggam Guanlin dengan mata membola sebelum tanya ia ajukan, "Tadi aku kelihatan, nggak?"
Alis Guanlin terangkat sebelum menarik Jeongin untuk merapat, "Kelihatan? Yaiya, kamu kan manusia. Kalau nggak kelihatan," Jemari mereka ditaut oleh pihak yang tengah berbicara, wajahnya mendekat dan dahi mereka sengaja ditabrakkan pelan sebelum sambung kata, "....namanya kamu setan."
Jeongin mendorong Guanlin dengan cemberut, namun pihak lawan hanya tertawa singkat dan kemudian bawa tangan besarnya mengusak rambut.
"Kami latihan sampai jam 8. Kamu mau tunggu?"
Jeongin melempar pandang, memperhatikan satu punggung yang telah berlari ke tanah lapang. Kakinya menendang, tangan menyugari rambut hitamnya yang terlihat panjang. Sesekali raut di sana berubah garang, namun juga ada tawa saat ia tak sengaja jatuh oleh tungkaian kaki pihak lawan. Kemudian jika tidak salah tanggap, punggung itu berbalik, melirik dengan tampilkan senyum lebar yang buat Jeongin tergelitik.
Binar Jeongin tak henti kagum pada bagaimana setiap gerak seseorang bisa getarkan jantungnya sedemikian rupa, tanpa perbuatan lebih, mungkin tidak disengaja. Ntah bagaimana tunasnya bermekaran jika temu tatap mereka hanya sebatas ungkapan sapaan semata.
Ia toleh kepala, hadap Guanlin yang tatap ia dengan raut penasaran akan apa arti diamnya. Kembali bingung sang teman saat Jeongin keluarkan senyuman.
"Aku tunggu."
✧◝✧
ALHAMDULILLAH YA AKHIRNYA SEMAKIN TERLIHAT KONFLIK ABAL ABALNYA, YUK DOA SEMOGA AKU GAK TEGA NGASIH SAD ENDING
KAMU SEDANG MEMBACA
PRANKSTER.
FanfictionMinho is just confused by his junior。 Top Hyunjin, Bottom Lee Know. Hyunknow' story written in Bahasa. (Pictures belongs to the rightful owner.) ㅡ cj.