[] Turncoat Rover

205 28 0
                                    

Turncoat Rover
Oleh Azzafrei

[] Fantasi - Action []

Sudah kuduga akan tiba juga saatnya, ketika aku harus kembali berhadapan dengan masa lalu yang kularikan diri darinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sudah kuduga akan tiba juga saatnya, ketika aku harus kembali berhadapan dengan masa lalu yang kularikan diri darinya.

Nyeri membentur kepalaku yang terlalu sesak oleh jutaan kupu-kupu emosi. Daripada umpama puitis itu, secara fisik kepalaku memang baru saja terbentur sesuatu hingga tengkorakku rasanya hancur—meski kuyakin itu mustahil—dan darahku mengucur dari luka yang tentunya tak bisa kulihat selain dengan bercermin—mana mungkin aku bercermin saat penyusup menyerang, bukan?

Jadi, yang penting, kepalaku nyeri—dan sekarang sakit. Kucoba mengusap sisi kepalaku yang terasa membengkak dengan sebelah tangan yang tak berlapis magis, ketika kutarik kembali tangan kiriku itu, warna ungu pekat yang menjijikan memenuhi kental telapak tanganku.

Miris juga. Sekarang darahku sudah benar-benar semenjijikan makhluk-makhluk biadab pembantai adikku itu, ya?

“Rilith Aidelsive.”

Ah, suara itu. Sudah berapa lama, ya, tidak kudengar? Coba kuingat dengan kepalaku yang bocor ini—tiga tahun lebih lima bulan, yap. Mengingat bilangan bulan yang nyaris menyentuh enam bulan alias satu semester itu membuatku menerka, seberapa sulit ujian Akademi kalau bencana itu tidak mengacau, ya?

Meski asap masih membumbung bekas hantaman godam cahaya tanda kedatangannya yang juga merupakan penyebab bocornya kepalaku ini menyamarkan sosoknya, aku sudah langsung mengenalinya. Energi magis berduri tajam yang bagai landak petir itu, ketegasan khas seorang teladan yang bisa kukenali dari suaranya saja. Siapa lagi kalau bukan sahabat tersayangku semenjak tujuh tahun lalu itu?

“Erabela Rozhee. Halo, sahabatku. Ingat sudah berapa lama kita berpisah?” balasku menyapa dengan nada ceria—seolah ini adalah enam tahun lalu, ketika aku menyambutnya kembali dari pindahan sementaranya keluar pulau.

Asap menipis. Mata limun zamrud pemancar wibawa seorang teladan itu memukan tatapanku. Namun wajahnya masih tersamar di balik asap, sehingga aku tak tahu apakah dia membalas senyum lebarku. Jika iya pun, aku tidak bisa menebak senyum seperti apakah yang ia guratkan—senyum sinis? Senyum berkedut amarah? Atau senyum dewi kematiannya seperti ketika di masa Akademi dia menangkap basah diriku yang bolos kelas? Tetapi, kudengar suaranya dengan jelas. “Jangan berani-berani masih menyebutku sahabatmu, setelah tiga tahun lima bulan lalu kau membangkang dari Klan Licht, Pengkhianat.”

Ah, pengkhianat, ya? Julukan yang tidak buruk jika kulihat sendiri fakta yang kutaburkan di setiap jejakku di belakang. Tetapi menjadi sangat buruk ketika sahabatmu sendiri yang mengucapkannya untuk merujuk padamu dengan penuh hina. Tapi, boleh aku terharu karena dia juga masih mengingat waktu kami berpisah dengan tepat seperti halnya diriku?

Gempita ShastraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang