Gue nggak bisa menilai diri gue sendiri sebagai orang yang jujur. Satu bukti gue dapatkan, yaitu gue suka mencontek. Contohnya saat ini, disaat semua orang mati-matian untuk belajar, gue malah melakukan suatu kecurangan. Terdengar jahat, tapi sebenarnya gue juga mati-matikan kok. Mati-matian untuk membuat contekan.
"Anjir sih. Tau aja gurunya gue mau nyontek," gerutu gue dengan mata menatap lekat satu tumpukan buku warna hijau muda yang diletakkan di meja guru hingga seseorang yang tengah duduk di kursi kebanggaannya hanya terlihat mata sampai ujung surainya saja ----jika dilihat dari depan.
Pandangan gue mengedar ke satu ruangan. Setelah dirasa situasi cukup aman, gue menyeret satu serpihan kertas ukuran 2 cm x 3 cm yang ada di bawah kotak bekal warna kuning milik Yuna.
"Kurang kecil lagi deh itu La." gue terkekeh dengan sedikit tertahan ketika mendengar penuturan Yuna yang sedang menatap tulisan mikro di contekan gue.
Coretan bolpen itu hampir tidak bisa terbaca karena sekat antar barisnya nyaris tidak ada, hal itu mengharuskan gue menatap lamat-lamat isi tulisan di sana.
Beruntung tulisan gue nggak sejelek bang Heesung yang handal membuat tulisan ceker ayam. Kelebihan gue itu membuat gue sedikit terbantu. Bukan bermaksud sombong tapi nyatanya memang seperti itu.
"Ayo satu menit lagi dikumpulkan!" Satu suara mengintrupsinya tubuh gue untuk bergerak semakin cepat. Dengan mulut menggerutu agak kesal, gue mencepatkan tempo gerak tangan gue yang sepertinya mulai melambat karena lelah, apalagi ketika melihat Yuna yang sudah mulai mengemasi alat tulisnya ke kotak pensil. Tumben sekali satu anak itu cepat banget.
"Udah La. Satu atau dua salah nggak masalah, cepetan kumpul." Kalau begini gue duga kalau perempuan yang berstatus sahabat gue membutuhkan asupan untuk dimakan. Akhirnya gue dengan berat hati mengumpulkan satu lembar kertas ke depan dengan dua angka masih kosong, alias belum gue jawab. Mungkin kalau gue nggak lapar sekarang, nggak bakal gue kumpulin ulangannya sampai besok sekalipun.
Positif thingking aja, gue udah berusaha. Pasti bagus.
"Sandwich, susu kotak, jus mangga, bakmi, apa lagi ya enaknya?" Yuna berseru secara terus-terusan membuat gue mendecak karena telinga gue disuguhi satu kalimat yang sama selama tiga jam terakhir ini. Sampai hafal gue dengernya karena kalimat itu diulang-ulang terus. "Sindwich, sisi kitik, jis minggi, bikmi, ipi ligi yi iniknyi? Udahlah Yun capek anjir dengernya. Dari sebelum ulangan sampai istirahat kata-kata lo itu mulu."
"Ganti lah. Yang lebih berfaedah dikit."
"Gue tuh lagi laper Keyla, jadi di otak gue mana ada hal lain selain makanan." Yuna melenggang pergi ketika kakinya menapak pada lantai warna coklat mocca. "Ya santai aja, masa gue ditinggal."
Gue membuntuti anak perempuan di depan gue itu. Tetapi satu hal membuat gue menaikkan alis secara spontan. "Ih ... susu pisang!"
Ih gue udah lama nyarinya, bener-bener lama banget. Dan setelah sekian lama, susu kesukaan gue itu muncul di permukaan lagi.
Gue mengambil dua susu pisang di lemari pendingin. Meneguknya setelah transaksi jual beli gue terselesaikan. Udahlah lupain Yuna sebentar, entar dia juga balik lagi, pasti.
Gue duduk di bangku panjang kantin untuk menunggu Yuna. Empat sampai lima menit setelahnya dia datang dengan nampan, di atasnya ada berbagai makanan di sana. Benar kan apa kata gue, dia pasti muncul sendiri. "Ngerampok lo?"
"Beli lah anjing," ketusnya. Gue bersenandung dalam hati sembari mengamati berbagai siswa yang muncul dari balik ruangan kelas sepuluh.
"Eh, tuh anak kelas apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Detener | Jay
Teen Fiction"Gue pernah denger katanya 'Hugs make everything better' jadi, ayo sini gue peluk?"