"Ya jangan dibuka satu-satu, entar kalau salah gue juga ikut malu anjir." Sayup-sayup suara melintas setelah lama keheningan memenuhi satu ruangan serba putih. Suara yang lumayan terdengar nyaring di tengah kesepian.Srekk!
"Nah bener! Minhee nih!" Gue berdesis sesudah suara kelambu putih dibuka lebar. Terdapat Yuna diikuti Minhee yang membawa beberapa makanan.
Gue melirik kecil kesamping, di sebelah nakas diletakkan satu buah es krim rasa vanila dengan dua roti yang terbungkus rapi dalam kemasan oleh Minhee. Siapapun yang beliin ini, makasih.
"Ya walaupun lo sakit pura-pura, jangan sampe beneran sakit," seru Minhee memperingati, nadanya lumayan pelan nyaris berbisik tepat mendekati telinga gue. Setelah itu dia mengambil tempat pada kursi kosong sebelah.
Gue melirik Yuna yang masih melihat-lihat lemari tempat obat yang jaraknya tak sedekat gue dan Minhee. Gue membulatkan bibir. "Makasiiihhhh!"
"Lo yang beliin?" Minhee mendengus lalu menyodorkan telapak tangan. "Ganti, 20.000."
"Minheeeee, lo bawa balik aja nggak apa-apa, gue ikhlas."
"Nggak sakit beneran kan lo?" Gue menggeleng pelan seraya mengunyah keripik di katup gue. "Bilangin Yuna nih."
"Jangannnn." Gue berbisik dengan suara tertahan. Netra gue balik ke Yuna yang sekarang tengah berbalik badan dan menghampiri gue dengan langkah lincahnya. "Lia nggak kesini, kelas dia belum selesai. Ada ulangan dia, jadi diganti jam istirahatnya. Guru gitu tuh ngeselin banget tau nggak. Jadi keinget kelas sepuluh dulu kita pernah gitu."
Gue tersenyum paksa untuk menanggapi. Telapak tangan gue menepuk lengan Minhee beberapa kali membuat sang empu mendelik. Pemuda itu menatap gue seperti berkata 'lo kenapa, anjir.'
Gue menggeleng pelan lagi menanggapi. "Yaudah, gue mau piket Osis dulu. Entar kalau pulang gue bawain tas lo kesini. Sehat sehat beb."
Yuna yang beranjak dari ruangan UKS itu membuat gue menghela nafas lega. Gue melirik Minhee di samping lalu mengerucutkan bibir. "Minhee, gue harus gimana?!"
***
Tuk!
"Ayo babi kesayangan. Cepetan! Keburu hujan!"
Satu helm berwarna coklat kehitaman dilempar dari arah samping, membuat gue reflek menengadahkan tangan. Resiko yang terjadi kalau gue tidak bergerak cepat yaitu jatuh hingga rusak atau menimbulkan suara nyaring yang sangat tidak gue sukai. Untung gue orangnya nggak mageran, jadi cepat tanggap.
Jay menatap ke langit. Mungkin dalam hitungan menit dapat diprediksi bahwasanya hujan akan turun deras atau mungkin badai. Tapi, kalau yang satu itu jangan sampai terjadi. Masa muda gue masih cukup panjang untuk mati sia-sia.
"Ngapain bengong? Sakit lo?" Gue menggeleng dengan air muka datar.
"Kenapa?" tanya dia lagi dengan nada agak nggak ikhlas gitu. Gue mendekati motor besar yang dominan warna biru tua hingga berakhir meletakkan helm milik Jay yang sering gue pakai ke jok motornya. "Gue nunggu Bang Heesung aja, atau kalau nggak bisa naik taksi atau ojol kok."
Gue jalan menjauh untuk menyusuri setiap trotoar di depan sekolah. Aduh ... ini lo kenapa Keylaaa. Padahal kalau Jay suka sama orang tuh kabar baik banget. Setidaknya hati gue nggak bakal menduga-duga kalau dia gay lagi. Tapi perasaan gue nggak enak banget. Rasanya mirip kayak lupa bawa topi di saat hari Senin. Gelisah.
Gue menunduk menatap beberapa daun kering yang memenuhi jalanan, walau tak begitu banyak. Sampai ketukan di punggung gue membuat gue berhenti melamun.
Badan belakang gue di lempari satu buah ranting kecil dengan oknum yang masih santai menatap gue dari kejauhan. "Yakin nggak mau? Gratis loh ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Detener | Jay
Teen Fiction"Gue pernah denger katanya 'Hugs make everything better' jadi, ayo sini gue peluk?"