"Yuna mana?!" Junho mengedikkan bahu. Ia menyantap bekal milik Minseo santai yang gue tahu isinya itu mie. Anak jaman sekarang masih aja bawa bekal. Biasanya beli atau paling parah minta temennya. Gue paling benci anak cowok yang suka minta-minta tapi pakai paksaan gitu. Dikira gue nggak laper apa? perjuangan gue beli makanan tuh sampai mengarungi lautan dan samudra. Apalagi kalau baru istirahat, rame banget, kantin sampai desak-desakan.
"Dimana dia?" Gue menatap Junho yang sekarang mengunyah makanannya hingga pipinya membesar. Menunggu sampai si anak menelan makanan yang telah dikunyah itu dan berucap.
Gue tuh baru aja dari ruang guru karena disuruh bawain buku satu tumpuk gitu. Harusnya anak cowok yang disuruh. Karena anak cowok kelas gue lembek semua ---yang paling parah si Minseo itu--- makanya gue yang diajukan.
"Jun jangan lo bilangin dulu. Piket lo!" seru Minhee yang tiba-tiba beralih menatap gue. Dia selaku ketua piket hari ini bertanggung jawab mengejar-ngejar gue buat segera piket setiap pagi, istirahat, pulang sekolah. Saking banyaknya kita piket sampai lantai kelas gue licin dan bisa buat ngaca.
Gue bergerak malas untuk mengambil satu sapu di tangan Minhee. "Gue nggak mau balikin ke gudang tapi."
"Iya, iya, lagian biasanya gue juga yang balikin," protesnya. Gue berdecih lalu dengan segera menyapu lantai yang bisa gue bilang lumayan bersih. Di rumah aja jarang bersih-bersih, di sini gue malah dijadiin babu.
Gue pukul kursi yang diduduki Minseo agar beralih sedikit, membuat sang empu yang duduk di atasnya tersentak. Minseo yang sibuk menjilati sendok bekas makannya itu menggeser bekalnya ke samping dan memindahkan badannya ke kursi sebelah.
"Ditinggal lo?" Gue melirik lelaki itu sedikit. "Nggak usah mulai."
Minseo menertawai gue dengan suara kecil. Ia balik memfokuskan diri pada bekalnya yang masih tersisa setengah. "Sensi lo."
"Plis ya, gimana nggak sensi. Lo kalau ngomong berasa ngajak orang war sialan." Gue jadi berhenti sejenak untuk meluruskan pinggang. Tangan gue berkacak pinggang dengan tatapan menatap lantai bawah bangku yang lumayan kotor.
Tuk! Tuk!
Ketukan di lantai itu membuat gue menoleh ke bawah lagi. "Sini bersihin juga. Nggak totalitas lo kalau kerja."
"Emang minta dikatain." Gue dorong-dorong kaki Minseo ke samping. Sepatunya kotor banget, kayaknya bawa lumpur dari depan sekolah. Berarti dia tersangka utama yang ngotorin depan kelas tadi pagi. Yang buat gue harus ngepel mati-matian bareng Minhee dan dimarahin wali kelas karena motong jam pelajaran dia.
"Terlalu baik tuh jelek ya La. Gue lihat-lihat lo selalu nungguin dia waktu piket istirahat, piket pulang. Dia ninggalin lo mulu perasaan. Sekali-kali bilang 'tungguin gue njing' gitu." Minseo menyuap nasinya sebentar, setelahnya ia menoleh ke gue yang persis di sebelahnya. "Biasanya lo kasar banget. Mendadak lemah lo kalau tentang ginian?"
"Apaan sih gue nggak apa-apa kali. Dia juga harus temenan sama yang lain." Minseo memutar sendoknya. "Ekspresi lo nggak bisa bohong tau. Kalau lo ditinggal lagi tuh ekspresi lo jadi agak kesel gitu."
"Kalau tentang temenan sama yang lain ya boleh aja. Tapi harus inget lo juga kali. Mereka baru temenan berapa lama sih?"
"Dahlah, penyebab masalah lo tuh." gue menghentakkan sapu kembali ke tempat asalnya. Udah bad mood makin bad mood gue. "Minhee, gue entar abis ngantin piketnya. Bye."
Nggak masalah sih sebenarnya, tapi kok gue merasa omongan Minseo nggak sepenuhnya salah. Gue seharusnya wajar marah kalau ditinggal sendiri begitu. Tapi, gue merasa juga kalau gue bukan anak kecil yang harus selalu bareng-bareng terus setiap saat. Pisah beberapa kali nggak masalah menurut gue.
Walau begitu, perasaan gue jadi sedikit nggak enak, gue keluar kelas dengan wajah agak cemberut. Kira-kira Lia sama Yuna lagi apa ya? Senang-senang tanpa gue, tertawa bareng, atau makan bareng tanpa memikirkan gue? Haduh ... pikiran gue jadi kemana-mana. Gue dianggap nggak sih sama mereka?
Gue kenal sama Yuna sekitar dua tahunan dan kalau tentang Lia kita --- Yuna dan gue--- baru kenal sekitar lima bulanan ini. Tapi kita tuh udah deket banget karena persamaan pemikiran.
Gue menuruni tangga perlahan, dari atas anak tangga gue lihat anak lelaki kelas Jay lagi duduk-duduk santai di samping tangga. Tak terkecuali Jay yang duduk di kursi panjang dengan tangan yang membentur-bentur kan bola basket di lantai hingga bola tersebut memantul.
Gue berjalan perlahan-lahan. Intinya jangan sapa Jay kalau lagi ada temannya. "Halah nggak lah. Fans gue banyak, lagian Lala nggak cantik-cantik banget. Masih ada Lia anak kelas sebelas yang lebih cantik dari dia. Kayaknya gue lebih milih Lia deh dari Lala kalau dijadiin pacar."
"Lo suka sama Lia?"
"Iya kali," jawab orang di bangku pojok yang sibuk buka tutup pintu kelas.
Gue buru-buru membalikkan badan ketika nama Lia di sebut. Baru menuruni tiga anak tangga, langkah kaki gue kembali naik lagi.
Perasaan gue semakin nggak enak. Kenapa sih di hidup gue selalu ada nama Lia? Gue nggak benci sama dia, cuma kesal saja.
Sepertinya hari ini gue skip kantin dulu deh untuk menghindari satu oknum yang membuat hati gue ini campur aduk dalam satu hari. Daripada gue gue tiba-tiba marah ke dia karena kepancing emosi.
"Lala, lama banget."
Katanya seseorang kalau dibicarakan kemudian datang pasti panjang umur. Kenapa gue tadi harus membicarakan Lia kalau gue tahu dia pasti panjang umurnya. Dia masih muda, ya jelas lah panjang umur.
"Gue tungguin setengah jam lho udahan," serunya lagi. "Ah ... enggak ini gue agak sakit perut."
"Mau ke UKS aja, sini gue anterin."
"Eng-enggak nggak usah, gue bisa sendiri. Duluan deh, bentar lagi masuk juga. Kalian masuk aja." tolak gue halus sembari berakting sakit. Maju ke depan untuk mencari satu tangga lain di depan perpustakaan. "Nggak apa-apa lo?"
"Nggak kok, biasa gini mah," seru gue ke Yuna setelah akhirnya melenggang pergi dari sana.
Tbc...
KAMU SEDANG MEMBACA
Detener | Jay
Teen Fiction"Gue pernah denger katanya 'Hugs make everything better' jadi, ayo sini gue peluk?"