"Makan siang nggak lo?" tanya Minhee. Gue mengedikkan bahu acuh tanpa mengalihkan atensi pada deretan soal matematika yang terketik rapi dalam buku paket. Gue menggaruk kulit kepala gue dengan pensil kemudian mengernyit tipis."Nungguin Yuna sama Lia?" Gue mengangguk. Tangan gue terulur mengambil satu minuman dingin yang sudah tidak lagi dingin.
Yuna sama Lia tuh anak Osis. Mereka lagi disuruh ke ruang Osis sejak jam pelajaran pertama. Ya ... tahulah anak Osis sibuknya gimana. Waktu jam pelajaran dipanggil kumpul, istirahat dipanggil kumpul, bahkan waktu liburannya aja kadang terpotong karena Osis.
Dulu kita sebenarnya ikut tes bareng-bareng. Mereka lulus dan gue nggak lulus dari tes ketiga. Tapi sepertinya setelah gue pikir-pikir, kesialan gue itu ada untungnya. Gue jadi nggak terlalu kecapekan, apalagi mengingat banyaknya tugas kelompok yang harus dikerjakan dengan segera. Weekend punya dua jadwal itu capek. Yuna kadang ngeluh gitu karena habis kumpul Osis dia harus kerja kelompok padahal lagi liburan.
"Yaudah, jangan lupa makan," putusnya. Setelah menutup tas miliknya ia segera pergi untuk meninggalkan gue sendiri di dalam kelas. "Minhee ... Minhee ... mau kemana?"
"Cafetaria. Gue nggak nerima titipan ya ... " ucapnya untuk memperingati. Dia berbalik badan untuk menghadap gue dari balik pintu yang hanya ditutup setengah, menimbulkan gue yang tidak dapat melihat separuh badannya. "Ikut dehhh."
Gue dengan terburu menutup buku-buku di meja kemudian menumpuknya menjadi satu. Gue tututi Minhee yang mulai berjalan menuruni tangga. Cafetaria ada di lantai tiga, dimana gue harus menuruni satu lantai untuk menggapainya. Untung hari ini gue nggak se-mager biasanya. Mood gue lagi baik. Jadi, mau naik turun tangga sepuluh kali juga nggak masalah, gue lakuin.
Gue menarik ujung kemeja Minhee dengan pelan. Udah kebiasaan dari dulu kalau lagi jalan bareng pasti gue tarik ujung baju dia gitu. Langkah Minhee soalnya panjang, mungkin jika nggak gue gituin gue bakalan ketinggalan banyak langkah dari dia.
"Yuna sama Lia?" Gue menarik netra gue pada satu tempat yang ditunjuk Minhee. Di pojok ruangan dengan carbonara yang masih mengepul di piring porselen, nampak dua gadis tengah beradu bisik dan sesekali melirik Adek kelas yang tengah mengantri makanan. Wajahnya terlihat santai tanpa memikirkan seseorang yang sedari tadi menunggunya di kelas. Iya, gue.
"Lo mau makan sama siapa?"
"Gue nunggu Hyunsuk. Pergi sana!" sewotnya ke gue. "Y."
Kepala belakang gue didorong-dorong sebelum gue pergi. Sialan banget emang Minhee.
"Udah selesai?" Dua anak di sana menatap gue sedikit kaget ketika gue datang. Lia menepuk gue beberapa kali sembari memegangi dadanya menandakan kalau dia benar-benar terkejut. "Ngagetinnnnn!"
Gue terkekeh, mendudukkan diri di kursi kosong. "Dari tadi?"
"Barusan. Gue pikir lo udah ke sini tadi." Gue mendengus. Punggung gue tersender ke kursi kemudian menyeruput minuman milik Lia. Orang itu sudah ngumpat-ngumpat ke gue, tapi gue nggak peduli. "Gue nungguin dari tadi."
"Ya nggak tau juga. Lagian gue juga agak kesel, sampai lupa sama lo. Lo tau nggak sih, si Jinyoung ngeselin banget sialan!" Lia melempar bungkus sedotan plastik yang sudah digulung ke arah depan. Tangannya terlipat di depan dada dengan wajah ketus. "Gue nggak merhatiin dia salah, beri saran disalahin juga. Halah anjing!"
"Kak Jinyoung suka lo tuh," celetuk Yuna yang masih menggulung pasta dalam garpunya. Gue terbatuk agak keras, sensitif banget gue sama topik Kak Jinyoung akhir-akhir ini. "Apaan, ogah banget sama dia."
"Lagian dia tuh aneh banget, sampe hihhhh. Udahlah nggak bisa diterjemahkana dengan kata-kata."
"Dia tuh nyinggung lo mulu tau La waktu bahas peraturan sekolah. Kayak, itu tuh anak kelas ipa lima suka ngelanggar. Kaos kaki nggak boleh sampe dibawah lutut, rok lah, telat lah. Hadeh, capek gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
Detener | Jay
Teen Fiction"Gue pernah denger katanya 'Hugs make everything better' jadi, ayo sini gue peluk?"