12

108 19 6
                                    

Latte lumayan enak dinikmati waktu sore, apalagi kalau tahu kota kali ini lumayan mendung. Cairan dalam mug keramik yang masih mengepul itu nampak menarik hati. Ditambah lagi iming-iming yang konon katanya diskon 10% jika dibeli berdua bersama kekasih.

Kafe di dekat taman kota itu janjinya bisa dipegang. Terkadang diskon yang dipromosikan di depan kafe tak bisa direalisasikan pernyataannya. Untung saja kali ini berbeda.

Walau berakhir gue mengetukkan tangan ke kepala dan meja beberapa kali, agar kebohongan yang gue lakukan hanya akan menjadi fiksi belaka.

Kafe ini nampak lengkap. Tapi, ada satu yang masih mengganjal. Tatapan Junho yang dari tadi nampak kesal dengan gue, tak kunjung menyeruput minumannya dari tadi. Mungkin karena terpaksa mengantarkan gue pulang sebab Minhee mendadak sibuk dengan ekstrakulikulernya? Padahal dia dapat timbal balik dari kegiatannya itu. Satu mug latte itu gue yang beli loh, jarang-jarang gue bersikap sedemikian rupa.

Gue tak berkutik, masih sibuk mengamati satu-persatu foam tebal yang menghiasi bagian atas mug.

Satu lengan mulai bertumpu pada pucuk kepala gue hingga menambah beban yang lumayan berat. Poni gue diangkat lalu ditepuk beberapa kali oleh telapak tangan lain. "Ih! Lo nggak tahu ya susahnya bikin poni biar bisa lurus gini."

"Nggak bisa simetris lagi. Liat deh yang kiri lebih kelihatan pendek dari yang kanan tauuu," sedih gue dengan jari yang menurunkan beberapa anak rambut gue agar lebih panjang lagi. "Sama kok."

"Mata lo silinder ya? Lihat deh, yang ini di bawah alis, yang satunya di atas alis!" Junho mencibir pelan. Dia bersidekap dada, punggungnya ia senderkan ke kursi dengan ekspresi malas-malasan. "Coba hitung, berapa kali hari ini lo marah? PMS lo?"

"Lagian ngapain juga deh, pake poni-ponian gitu. Ribet. Mending kayak dulu aja."

"Ya harus ganti dong tiap tahun model rambutnya. Jangan itu-itu aja. Yang lihat bosen."

"Gue kok nggak?" Gue berdecak, lengan gue memukul meja pelan setelah itu. "Ya terserah. Rambut lo juga nggak ganti model dari tahun ke tahun. Panjangnya tetep gitu-gitu aja."

"Model cowok ya gini. Shutt ... jangan berisik." Gue mendengus begitu Junho memperingati gue untuk tidak menyahuti ucapannya. Punggung gue mulai menyender pada kursi lalu memainkan mug di depan dengan memutarnya malas.

Gue menyeruput latte hangat dalam mug itu diikuti Junho setelahnya. Dia senyum setelah mugnya turun, dan membuat gue hampir ketawa karena bagian atas bibir dia kena foam. Mirip kumis tapi tipis-tipis gitu.

"Gue pikir rambut hitam lo dulu emang cocok di lo banget sih. Rambut pendek terus tanpa poni. Ngapain juga sih lo pake cat-cat rambut segala?"

"Jadi keinget, sialan!" Gue menutup wajah lalu mengusaknya frustasi. Sela-sela jari gue yang lumayan terbuka, gue gunakan untuk melirik Junho sedikit saat ia gue dengar akan berbicara.

"Lah? Apa salah gue?" Junho berseru. Ia mengerutkan wajah menunjukkan ekspresi tanya. "Oh ... yang itu ya? Jay ganti warna rambut juga tuh, jadi item."

Junho menyesap lattenya sejenak membuat gue dibuat penasaran. Pasalnya, gue hari ini sama sekali nggak keluar kelas kecuali waktu pulang sekolah. Dan gue juga nggak menyadari kalau Jay ganti warna rambut tadi.

"Iya, banyak yang bilang lo putus sama dia," tenangnya dengan katup yang bersiap untuk meniup lattenya sebelum ia sesap.

Latte yang mau gue minum hampir keluar dari katup gue. Untungnya itu cuma hampir karena wajah Junho yang sudah ancang-ancang memaki gue sebelum minuman gue benar-benar menyembur.

Detener | JayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang