14

20 3 1
                                    


Mohon dibaca dengan sepenuh hati walau ceritanya amburadul karena author membutuhkan semedi selama satu tahun untuk menulis bab 14 dan meyakinkan diri untuk melanjutkan cerita yang b aja ini.

Entah hari ini hari apa tapi gue merasa hari ini merupakan hari terpanas yang pernah ada. Gembar-gembor gosip muncul di permukaan. Baik saat gue singgah dari satu tempat ke tempat lain mulut-mulut masih menyuarakanya. Berita hari ini merupakan berita yang sangat hot sampai-sampai Yuna dengan semangat empat lima lari dari satu titik ke titik lain untuk mendengar berita yang sama, tetapi beda versi.

Gue gak paham kenapa gosip yang menyebar luas pasti punya versi yang beda tergantung siapa orang yang mengabarkannya. Dan entah sejak kapan gue yang awalnya makan bersama Yuna sekarang berganti menjadi sosok Junho yang telah mendaratkan pantat di kursi kantin. Kepala gue celingukan mencari manusia yang konon katanya menjadi admin lambe turah dan saat ini sedang magang menjadi salah satu kru acara televisi rumpi. Gak, gue gak sedang menulis pengalaman kerja Yuna sekarang, tapi gue hanya mau bilang kalau kegiatan cewek itu sangat tidak berfaedah dan hanya menambah dosa akhirat.

Kembali lagi ke Yuna yang sibuk berbincang asik dengan sosok lambe turah lainnya. Dongpyo dan si adek kelas yang kalau tak salah bernama Sunoo semakin memelankan suaranya. Dari sini gue lihat bibir si dongpyo-dongpyo itu sampai mengerucut berkat cerita karangannya sendiri. Gue menopang dagu sambil memainkan nasi. Konon katanya, jika gosip yang dibicarakan semakin pelan maka semakin hot beritanya dan semakin diragukan pula fakta gosip tersebut.

Padahal gosipnya hanya tentang Minhee dan Yujin yang tiba-tiba dihukum bersama di lapangan belakang sekolah. Dan katanya mereka berpacaran karena terciduk berciuman di halaman belakang. Tapi rumornya malah merembet kemana-mana. Dan tentu saja, hati gue ini sangat rapuh setiap mendengar pembicaraan mengenai Minhee dan pacarnya setiap berpindah tempat.

Gue menghela nafas, membuat lelaki di depan gue melirik mengawasi. "Ayo main tebak-tebakan."

"Sebutkan berapa kali lo ngehela nafas dari pagi hari ini?"

"Lo nggak lihat gue lagi gak mood tebak-tebakan." Dia tertawa kecil tak jelas kemudian hampir lima menit kita berdiam setelah gue menghela nafas lagi. Dia sibuk dengan ponselnya dengan ekspresi yang masih senyum-senyum seperti orang gila seakan membuat narasi konyol di otaknya, tapi gue menyadari bahwa kepalanya itu hanya berisi tengkorak saja tanpa otak. Jadi untuk berkreasi dengan membuat narasi sepertinya hal yang sangat tidak mungkin terjadi. 

Junho terkekeh kecil kemudian menurunkan sumpitnya. Dia menepuk puncak kepala gue pelan. "Sabar, La. Lapangkan hati. Niscaya orang yang ikhlas akan mendapat ganjaran yang lebih besar."

Halah, kayak orang bener aja.

"Dan ganjarannya diganti orang tampan yang lagi duduk di depan lo."

***


Gue gak paham sih entah sejak kapan. Tapi belakangan setelah Minhee dikabarkan berpacaran dengan Yujin gue mulai dekat dengan Junho. Sebaliknya dengan Jay, gue tak pernah berbicara dengannya tanpa alasan. Mungkin gue hanya bertemu saat Bang Heesung dan temannya kumpul setiap malam mingguan di rumah. Iyalah, bujang-bujang kayak gitu mana ada pacar.  Kalau gak kumpul mungkin cuma nolep di rumah. Makanya, Bang Heesung yang sudah putus dengan pacarnya tepat di anniversary tahun pertama mengubah jadwal dari yang biasanya rutin pergi ke luar kota mengapeli mbak pacar setiap weekend menjadi acara rutinan arisan bapak-bapak kompleks perumahan griya---bukan deng, maksudnya rutinan malam mingguan j0mbl0 g4nt3ngs.

Sumpah nama grup whatsapp-nya itu. No fake fake.

Mereka juga pernah berkata. "Buat apa pacaran, pacaran itu dosa." Heleh kalau gitu aja kompak.

Gue membuka pintu setelah bel berbunyi lagi. Ingat kata lagi yang berarti gue telah bolak-balik dari dapur ke pintu utama untuk membukakan tamu paduka raja yang sekarang sedang asik memakan ciki snack berbahan dasar jagung yang tadi sempat gue beli di supermarket depan gang rumah.

"Selamat datang tamu kehormatan paduka raja Heesung yang terhormat. Anda menjadi tamu nomor sekian yang datang. Silahkan bergabung dengan perkumpulan arisan bapak-bapak di ruang keluarga lantai dua." Gue dengar dia terkekeh kecil. Gue dapat mencium aroma parfum ini. Aroma parfum vanila yang sangat gue kenali. "Baik, tolong lepaskan sepatu saya dan siapkan saya sandal, pelayan."

"Baik bagin--kurang ajar!" Dia terkekeh lagi.

"Yang lain udah dateng?"

"Kurang Jake sama Sunghoon." Gue tak paham, tapi setelah dia mengangguk senyumnya mengembang. Jay masuk ke rumah sembari mengusak puncak rambut gue. Dia melepas sepatunya sembari duduk di kursi, tetapi tak kunjung pergi dari sana.

Gue tahu proporsi wajah dan badannya sempurna. Hanya dengan sweater warna cream dan celana jeans hitam dia cukup keren. Rambutnya dibiarkan terurai kedepan. Tapi yang pasti aroma tubuhnya yang dapat dicium dari jarak dekat begitu manis. Gue tahu kok dia suka parfum dan aroma. Tapi saat dulu dia mengajak gue pergi bersama gue gak pernah mencium aroma parfum sama sekali disekitarnya. Entah kebetulan atau enggak, gue memang gak suka aroma parfum terlalu lama. Dan sebenarnya fakta ketidaksukaan gue dengan parfum ini bukan rahasia umum lagi bagi orang terdekat gue.

"Kenapa?" Gue menggeleng kan kepala menyadarkan diri. "Nangkap nyamuk."

"Ah ... Maksud gue nunggu temennya Bang Heesung biar gak sekalian bolak balik hahhaha.." tawa gue memecah kecanggungan, tapi suasana malah semakin canggung. Mungkin kalau ini film komedi bakal muncul suara jangkrik yang mengisi keheningan. Tapi saat ini Jay malah diam saja tanpa suara hingga berakhir gue yang mencari topik pembicaraan lagi dengan memutar otak. "Lo sendiri ngapain masih di sini. Naik sana."

"Pergi aja."

"Enggak, gue mau nung--"

"Pergi aja, biar gue yang nunggu di sini. Lo mau keluar kan?" Dia melihat gue dari sisi atas hingga bawah. Melihat gue mengenakan pakaian rapi. "Eng---"

"Tadi gue waktu ke sini gue lihat Junho ada di belokan sana. Nungguin tuh," godanya tapi tanda nada.

"HAH?! Tapi gue pergi sama Yuna," Kaget gue lalu menutup mulut sejenak sebelum berucap lagi dengan gugup. "Udahlah gak bakal gue bilangan Heesung kok. Pergi sana."

Berakhir mau tak mau gue yang mengalah. Gue lari ke table bar di dapur mengambil tas selempang dan handphone yang menunjukkan sepuluh panggilan tak terjawab dari Junho. Gue tak menyadari karena ponsel yang selalu dalam mode jangan ganggu dan dengan mode hening. Lari kembali ke depan, gue memakai flatshoes terburu dan beranjak tanpa pamitan.

"Hati-hati." Gue dadah-dadah begitu sadar lupa berpamitan dengannya. Setelah sekitar beberapa meter gue dengar dia menggerutu kecil. Tapi gue juga baru menyadari bahwa wajahnya tadi berubah datar sekejap setelah gue menginjakkan kaki keluar pintu dan dia mengucap hati-hati.

Ah enggak lah mungkin perasaan gue aja kali



















Tbc...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 17, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Detener | JayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang