Setelah beberapa pengujian yang gue lakukan. Ternyata, bermain ponsel itu lebih menyenangkan dibandingkan belajar. Gue bisa bermain game nyaris lima jam sehari, tapi kenapa saat belajar tidak?Ya kalau gue belajar hingga lima jam, pelajaran masuk, jiwa gue keluar.
Lima menit lalu satu bab baru saja selesai gue rangkum, sampai gue masuk ke fase lemah, lelah, letih, lesu, lunglai, lepek. Ini tuh satu bab bukan lima belas sampai dua puluh lembaran gitu, tapi yang sampai empat puluh lima lembar. Disaat mengerjakan itu juga gue dilanda kegalauan. Mana mungkin satu bab terasa penting semua. Ini perasaan gue doang atau gimana?
Gue sekarang singgah ke kamar Bang Heesung karena gabut setelah nugas. Banyak tugas sebenarnya, tapi capek. Kalau bisa besok kenapa harus sekarang?
Gue dorong kepala Bang Heesung sampai membentur dinding di sebelahnya dengan kepala. Tapi dia nggak ada reaksi. "Heh! Awas aja ya lo tinggalin gue. Gue bilang Chaeryeong kalau lo orangnya nggak konsisten sama janji."
"Heh!" gue colek lengannya dengan jempol kaki gue, membuat lelaki yang sibuk dengan ponselnya itu menoleh. "Iya gue denger kambing."
"Nah gitu baru bener jawabnya." Gue merosot ke bawah, berakhir dengan duduk di atas karpet tipis dengan punggung yang tersender ke sisi ranjang. Gue mulai menerawang langit-langit. "Nggak apa-apa lo?"
Bang Heesung tuh anak manja kalau dekat dengan Ayah. Tapi karena beliau tidak ada dan ia memutuskan tinggal di sini, sepertinya ia sedikit berbeda. Bunda jarang memperhatikan pemuda itu, mungkin karena beliau pikir lelaki ini sudah mulai dewasa. Gue jadi sedikit khawatir kalau-kalau sosok yang tidur di samping gue ini merasa tidak suka.
"Apanya?"
"Ha?! Apa yang apanya?"
"Ya apanya?"
"Gimana sih Bang?" gue menghadap badan ke lelaki itu. Bang Heesung mengernyit, kemudian tak lama setelah itu ia terkekeh. Ia tepuk dahi gue beberapa kali. "Pantes, kosong."
"Ha?!" Bang Heesung menjentikkan jari. "Otaknya nggak ada."
"Bangsat! Kan lo yang jawabnya nggak nyambung," bela gue. Oke mesti sabar. Ambil nafas, hembuskan.
Sabar.
"Kalau gue terlalu cari perhatian Bunda, bilang aja. Gue nggak masalah kok."
"Lo denger ya tadi?"
"Iya. Tapi dikit kok, dikiiiit banget," seru gue sembari memeragakan kata sedikit dengan jari. "Lupain, gue udah gede."
"Kalau gede emang nggak perlu perhatian. Siapa yang bikin persepsi itu?"
"Ya itu kan tergantung orangnya. Gue males diperhatiin kayak gitu. Terkekang jadinya. Udahlah balik sana," usirnya membuat gue mengerucutkan bibir. Gue membentuk garis abstrak di lantai, enggan berseru untuk menyatakan sesuatu. "Tumben Lo gini. Ada maunya pasti. Apa? Cepet bilang terus keluar."
"Ih ... gue baik beneran loh ini. Tapi Bang, minta tolong bilangin ketemennya yang anak sultan, suruh ambil flashdisk kesini." flashdisk Jay tuh disini sejak SMP, tapi baru kemarin gue nyadar. Waktu gue bersih-bersih lemari dan ada benda kecil yang terlempar waktu gue tarik tas.
"Pusing gue lihatnya. Isinya, astaga ... foto Jay sampai 3000 lebih. Alay semua lagi," keluh gue. Entah sudah berapa tahun ada di sana, gue nggak ingat sejarahnya sama sekali.
Bendanya tuh kecil, sama sekali nggak memakan tempat. Tapi yang bikin gue risih itu sebenarnya fotonya bukan bendanya. Isinya foto alay tapi gitu-gitu dia masih----ekhm, nggak jadi deh.
"Lo chat aja." Gue menggeleng. "Gue tuh minim chat sama Jay. Nggak mau, entar dia kira gue ngapain lagi."
"Ya lo nyuruh gue gitu? Nih nih chat sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Detener | Jay
Teen Fiction"Gue pernah denger katanya 'Hugs make everything better' jadi, ayo sini gue peluk?"