05

169 57 27
                                    

"Minhee anjir, fuck," umpat gue di sela kegiatan. Gue meletakkan satu gelas yang masih tersisa bir pada dasar gelasnya. Ini sudah gelas yang ketiga, sepertinya kesadaran gue sudah habis sampai sini. Ya gimana lagi, ini pengalaman pertama bagi gue mencoba minuman yang dulu sangat amat gue jauhi itu.

Ini tuh gara-gara Minhee, bisa-bisanya dia mengajak gue ke bar padahal dia sendirinya yang teler duluan. Aduh nggak elit banget, padahal ini cuma bir loh, yang masih masuk golongan A bukan B atau C.

Gue memegang dahi, kepala gue sungguh berdenyut hebat. Selain karena minuman ini, juga karena musik disko yang sangat tidak bisa masuk ke telinga gue. Bukan genre gue banget, genre yang biasa gue dengar itu lagu sejenis jazz atau RnB gitu, yang kalem terus menenangkan.

"Anjir, gue pusing banget." Minhee mengetukkan dahinya pada meja. Salah dia sendiri dong, katanya mau singgah kesini buat penghibur lara. Ini mah bukan penghibur lara, tapi menambah lara.

Sebenarnya kami berangkat bertiga tadi, tapi Jake memilih pulang karena adiknya di rumah sendiri. Setidaknya kalau ada Jake gue tidak perlu khawatir, dia masih sedikit waras untuk tidak minum sampai mabuk sehingga bisa menyetir mobil untuk mengantarkan kami pulang. Kalau Minhee, mana bisa diandalkan.

"Pulang gimana kita?"

"HA?!" Gue menatap Minhee yang mengedikkan dua alisnya. Mata dia terlihat sayu dengan guratan merah yang membentang dari pipi kanan hingga pipi kirinya.

"PULANG GIMANA KITA, BUDEK?!" seru gue lagi sembari menarik telinga Minhee ke arah katup gue. Kayaknya Minhee juga nggak bisa ngasih solusi sih ini, gue yakin.

Apa gue harus suruh jemput Bang Heesung? Mana bisa, masa gue suruh dia turun gunung cuma buat jemput gue.

Oh ya, ngomong-ngomong Bunda tidak di rumah, Bang Heesung pergi mendaki sejak tadi sore, mumpung tiga hari ini libur, ia puas-puaskan bermain sebelum menjelang ujian.

Tapi kalau Bang Heesung ada di rumah pun, hadeh ... ngeri-ngeri sedap kalau minta pertolongan ke dia. Bisa-bisa dijadiin subjek omelan dia pagi sampai paginya lagi.

Gue menepuk bahu Minhee beberapa kali. "Aduh sahabat gue ini memang pinter banget deh."

Minhee yang memberi opini tempat rekreasi terbaik selama menghadapi liburan tiga hari besok. Waw ... anak satu itu selalu membuat gue salut dengan segala opini-opininya.

"Ayo pulang!" Minhee menaikkan alisnya kontan setelah lengannya gue tarik, tangan gue terhempas setelah itu. "Naik apa lo berani-berani bawa gue?"

Gue terdiam kemudian mengetukkan jari pada kepala. "Naik mobil?"

"Yaudah ayo. Mobil Lo bagus kan? Mahal nggak?" Gue terkekeh, gue tepuk punggung lebar milik Minhee yang sudah mulai mendahului gue sampai beberapa kali.

"Mahal duong. Satu mobil gue harganya bisa buat beli perusahaan punya Ayahnya Jay," seru gue sembari menunjukkan isyarat tubuh. Minhee yang awalnya berjalan lumayan jauh jadi dekat-dekat gue setelah gue berucap bahwa mobil gue lumayan mahal. Bahkan lengannya sudah melingkar pada bahu gue sok akrab. "Bawa gue kemana aja kalau gitu. Gue mau kok."

Setelah menuruni tangga dengan susah payah, karena keadaan bar yang sengaja diletakkan di atas ruangan, gue dan Minhee akhirnya berada di depan bar. Kepala gue yang lumayan berat jadi gue sandarkan pada tembok kemudian mengambil satu ponsel milik gue.

Gue telpon satu orang yang sekiranya dapat membantu gue tanpa mengadukannya pada Abang atau Bunda. Setelah panggilan tersambung, gue menegakkan punggung.

"Gua lagi ada masalah di sini. Jemput gue dong!"

***

"Selamat pagi adek kelas yang baik hati dan budiman. Kalau sempat, boleh anda mendengar saya berbicara sebentar." Gue tersenyum ramah. Kaki gue otomatis stagnan kemudian kepala gue berotasi untuk menatap sang lawan bicara. "Wah, selamat pagi juga Kakak osis yang selalu berbakti kepada sekolah, kalau boleh tau salah saya apa ya? Bisa langsung masuk keintinya saja?"

Detener | JayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang