11

85 25 7
                                    


Keadaan lumayan gelap di luar, bahkan beberapa bintang yang dibilang bisa menerangi malam saja masih tak bisa bertugas seperti yang dikatakan. Tapi mata gue masih normal digunakan untuk melihat objek jauh saat malam. Bukan seperti Jay yang minusnya makin hari bukannya berkurang malah semakin bertambah, mata gue masih normal.

"Bang, mau pulang." Rengekan pelan dari gue membuat diri lelaki yang akan menginjak umur sembilan belas tahunnya itu menengadah. Ia mengerjapkan netranya beberapa kali dengan mimik wajah lumayan penasaran setelah persis beberapa detik lalu memilih memfokuskan atensinya ke gue.

Gue menutup bibir, membuang muka begitu menyadari lelaki itu terpaku beberapa saat pada bagian bibir gue. Hhhh ... padahal tadi sebelum kesini gue sudah touch up sebentar di toilet.

Bang Heesung yang duduk bersama keempat temannya langsung menyambar satu jas hitamnya yang ditenggerkan di atas kursi. Dari beratus-ratus meter tempat yang disediakan, anak ini malah memilih tempat ujung yang lumayan sunyi. Apa gunanya pergi ke sini? Datang, ngucapin selamat, nyapa orang tua Jay, makan, nyanyi. Beberapa kegiatannya nggak berbeda dari apa yang dilakukan di rumah. Cuma beda suasana.

Dia menarik gue beberapa meter dari sana sebelum berakhir kita berhenti dan berdiam diri beberapa menit di tempat parkiran mobil. Dia masih tak berkutik hingga gue memilih berdecak sebal karenanya.

"Dek, bukan karena dia ulang tahun dia harus dapetin yang dia mau ya?"

Sejak saat itu, gue nggak dibolehin ngapa-ngapain. Wifi yang kebetulan punya Bang Heesung di ganti password yang nggak gue ketahui password-nya apa sekarang. Laptop yang kebetulan punya dia dulu juga dia ambil balik. Katanya sih, gue kebanyakan nonton drakor yang ada adegan kiss scene. Padahal gue nggak begitu suka genre romantis, sedikit-sedikit masih nonton lah. Tapi kebanyakan drakor yang gue tonton tuh genre thriller.

Paling parah waktu gue udah siap mau pergi kelompok. Pagi-pagi udah mandi pake baju rapi dan wangi dari ujung kaki hingga ujung kepala. Waktu turun ke lantai dasar Bang Heesung ngelihatin gue kayak tahanan yang udah dikejar-kejar bertahun-tahun dan akhirnya ketangkep. Itu nggak enak.

Gue juga akhir-akhir ini menghindari Jay banget, lumayan ngerasa nggak enak sama Lia yang gue lihat-lihat suka banget ngelihatin Jay dari jauh. Dari tatapan matanya gue bisa menyimpulkan bahwa gadis itu kelihatan tertarik sama dia. Entah gue selama ini dari mana aja, sampai-sampai nggak menyadari hal sekecil itu.

Berhentinya Bang Heesung marah karena bujukan sepele, karena dia mager. Dia nggak mau keluar rumah buat beli cukuran kumis, berakhir sebagai Adik yang baik gue mau disuruh. Gitu-gitu juga akhirnya butuh gue juga. Sok-sokan ngambek sampai diemin gue.

Baru saja bel berdering sampai tiga kali. Gue juga baru nungguin Yuna piket dan berakhir disuruh bantuin bawa satu kantong sampah ukuran kecil yang baru saja diisi sampah yang dominan berisi kertas lembaran.

Satu benda besar sudah mengambil posisi di depan kelas gue tepat. Gue menghela nafas gusar, membalikkan pandang ke arah Yuna yang masih sibuk mengemasi mejanya kemudian beralih lagi menatap depan. "Apa lihat-lihat?"

"Minggir! Nyadar nggak sih lo gembrot? menuhi jalan aja." Sang oknum yang gue maki malah cengengesan tanpa sebab. Masih dengan seragam olahraganya yang dihiasi peluh, dia melipat lengan. "Cola dong. Udah dua kali olahraga gue nggak dapet cola dari lo."

"Ngapain minta sama gue? Uang lo kan banyak. Beli seperusahaannya juga bisa." Jay menarik lengan gue supaya mendekat. "Mana? Siniin."

"Yunaa! Jay nggak mau pergi!" Gue mengadu. Yuna hanya menggeleng-geleng melihat gue yang masih stagnan di depan pintu kelas. Setelah itu dia berjalan mendekati gue dengan satu kantong sampah yang lebih berat dari yang gue bawa. "Masalah rumah tangga diselesaikan baik-baik dulu, oke? Sini-sini gue aja yang buang."

Dua detik setelah kepala gue ditepuk, raga Yuna hilang ditelan pintu. Satu-satunya harapan yang gue punya pupus begitu saja. Badan gue spontan limbung. Gue balik badan berniat kembali duduk ke tempat gue. Namun, lengan yang menahan tubuh gue membuat gue berdecak agak keki. "Apasih?! Nggak usah sentuh gua! Jangan urusin gue! Mau cola kan? Iya entar gue beliin!"

"Lo paham nggak sih? Kita tuh udah bukan siapa-siapa! Jadi jangan sampai diantara kita ada yang urusin urusan satu sama lain! Jangan ada ganggu-gangguan lagi! Gue capek!" Gue menepis lengan itu. Berjalan menjauh lumayan pelan. "Gue salah apa sih sama lo?"

"Banyak! Salah lo tuh banyak tau nggak?!"

"Iya apa?" Gue diem sampai beberapa menit. Hingga salah satu sudut bibir Jay menaik. "Bahkan lo nggak tahu salah gue apa?"

"Bisa nggak sih kita jaga jarak selayaknya orang yang nggak punya perasaan dan nggak saling kenal?"

"Kenapa?"

"Nggak seharusnya anak cewek sama cowok yang katanya temenan tapi sedeket itu."

***

"Butuh temen ke bar?" Gue menggeleng lesu. Punggung yang sudah bersentuhan dengan tembok kelas itu menunjukkan kalau gue benar-benar dalam masa nggak semangat. Pandangan gue terus-menerus menembus kaca luar ruangan dengan fokus yang entah kemana. Gue lumayan kecewa begitu Jay berucap menyetujui tadi pagi---setelah berdebat cukup panjang juga. Tapi itu yang gue mau. Setidaknya gue pikir beban gue berkurang setengah.

Nyatanya nggak semudah itu. Pikiran gue malah dibawa melayang entah kemana.

Gue menegakkan punggung setelah sekian lama. Aktivitas pertama yang gue lakukan yaitu melirik Yuna yang duduk di belakang gue lelah setelah membujuk gue ke kantin dari tadi. Berakhir dirinya pergi sendiri dengan Junho.

"Lia mana?" Yuna lumayan tersentak. Mimik wajahnya menunjukkan kelegaan setelah sekian lama gue nggak bersuara. Dia menunjukkan susu pisangnya ke gue untuk menawari. Gue menggeleng lesu. "Lia mana?"

"Di lapangan. Sama temen kelasnya." Bahu gue menaik, mata gue menajam seraya mengingat sesuatu. "Anak basket latihan bukan?"

"Iya sih---em ... mungkin?" Gue menghela nafas lelah lagi. "Kenapa?"

"Enggak kok." Pengamatan gue akhir-akhir ini berarti nggak salah. Lia yang sering nungguin Jay latihan sampai sore tapi nggak pernah mendekat, Lia yang selalu lihatin Jay olahraga dari lantai dua, Lia yang selalu nunggu di perpustakaan karena dia tahu Jay selalu pergi ke perpustakaan setidaknya seminggu sekali.

"Ih ... Lala! Kalau mau ke bar ayok. Gue temenin sama Minhee. Lagi ada masalah ya?" Gue menggeleng. "Ih ... jangan gitu, cerita sini."

"Minhee ke motel yuk! Gue udah capek sekolah tauuu." Minhee mendorong kepala gue yang mulai mendekati dirinya. "Apasih anjir? Sarap lo?"

"Yaudah kalau gitu entar anterin gue pulang sekolah ya?"

"Mau apa? Ogah gue kalau lo bawa ke motel."

"Enggakkk, gue lagi nggak ada tumpangan. Jadi mohon bantuannya paduka."











Tbc...

Detener | JayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang