03

214 82 36
                                    

Tentang kemarin malam, sebenarnya tidak ada unsur paksaan yang gue acungkan pada lelaki berumur delapan belas tahun itu.

Buktinya saja, pada kalimat terakhir gue memilih menggunakan tanda tanya bukan tanda seru yang condong ke arah perintah. Berarti gue tidak memaksanya. Gue hanya menawarkan saja, barangkali tertarik dengan penawaran yang gue ajukan. Jadi itu semua murni bukan kesalahan gue di sini.

Gue rasa dia kali ini sedang merutuki keputusannya kemarin malam. Memikirkan saja gue ingin tertawa jahat.

"Aduduh, jiwa pengen rebahan gue bangkit." disuruh lari keliling sekolah itu capek banget yang pake banget. Dari jalanan gue merutuki Pak Jeongin yang gue kira nggak mau ngajar kelas gue, makanya disuruh maraton keliling sekolah, sedang beliau duduk santai menunggu di taman tepat belakang pagar utama. Gimana diri gue ini tidak pengen mengumpat, sebagai seorang murid yang memiliki perasaan itu gue anggap hal wajar.

Tulang betis serta tulang kering gue terasa patah. Oke, ini sebenarnya terlalu hiperbola, tapi rasanya memang sangat sulit disampaikan dengan kata-kata lain.

"Minggir. Gue juga pengen istirahat, bukan lo doang." gue yang sedang berebah diri di lantai dikejutkan dengan satu benda bersabut yang mendorong raga gue secara paksa. Junho memaksa tubuh gue beralih posisi disaat kondisi gue sedang kritis seperti ini.

"Piket ya santai aja. Gue juga biasanya piket nggak ada ya, acara gusur-gusur orang gini." Junho memukul kaki gue pelan. "Ya coba lo piket gue tidur di depan lo."

"Gue buang lo ke tempat sampah." gue menepuk baju gue yang sedikit berdebu karena bergesekan dengan lantai, melirik satu orang di sudut ruangan yang bisa gue lihat aktifitasnya disini sedang mengerjakan tugas. "Yuna, ayo kantin. Tugasnya entar aja, Belanda masih jauh."

"Bahasa lo sat. Ganti baju dulu sana, jangan istirahat-istirahat aja." gue menipiskan bibir mengejek. "Kalau gue sekarat di kelas, lo mau tanggung jawab Min?"

"Jangan Min dong anjir, nggak enak banget gue dengernya." gue menipiskan bibir. Gue abaikan perkataan Minhee yang satu itu.

"Yunaaa!" teriak gue lagi hingga sang target yang gue panggil menoleh kemudian menggelengkan kepala pelan. Ia melambaikan tangan dan menyuruh gue pergi. "Min Ayo ikut. Masa gue sendiri?"

"Biasanya juga kalau urusan Jay sendiri. Dahlah sibuk gue."

Setelah balasan Minhee berakhir, gue dengan sangat-sangat terpaksa berjalan ke kantin sendiri. Kalau bukan karena haus mungkin gue tidak bakal melakukan hal ini.

Dipandangan gue biasa saja, mungkin Dipandangan orang lain berbeda. Gue takut jika orang-orang menatap gue miris karena berjalan sendirian, seakan-akan gue merasa diabaikan. Tapi aslinya gue sama sekali tidak merasa begitu.

"Bang Heesung ada?" tanya gue ke salah satu kakak kelas di sana. Iya ... gue harus mengambil uang saku gue dulu.

Gue itu salah satu dari sepersekian orang yang memiliki ingatan jangka pendek garis miring pelupa. Kata orang tua jaman sekarang itu kebanyakan micin, padahal bulir-bulir yang menyedapkan makanan itu tidak memiliki kesalahan satu peserpun.

Sering sekali uang saku gue tertinggal di rumah, maka dari itu bunda memberi gue suatu saran agar uang saku gue di bawa Bang Heesung saja. Biasanya akan gue ambil waktu sebelum masuk ke kelas, tapi hari ini gue lupa hehehe.

"Ada, bentar ya?" Perempuan dengan pipi tirus itu masuk ke kelas diselingi dengan munculnya Bang Heesung yang sepertinya sudah tahu gue di depan kelasnya sebelum diberi informasi. "Uang saku? Pikun banget lo ya?"

"Hehehe ... namanya juga orang, kadang ada lupanya."

"Ini udah keterlaluan sih buat sejenis orang." gue mendengus malas, tangan gue mengadah, meminta hak gue yang belum diberikan sejak tadi pagi.

Detener | JayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang