Dewa mengucek matanya, merasa jika kepalanya berdentum menyakitkan. Ia menggeleng, berusaha menjernihkan pikiran. Di udara samar-samar tercium aroma masakan. Perutnya seketika berkriuk lapar. Ia mendesah, berusaha bangkit dari tempatnya tidur. Rupanya, semalam ia mabuk dan ketiduran di depan kamar. Ada sebuah bantal yang diletakkan di bawah kepalanya. Ia menduga, Flora yang melakukannya.
Melangkah gontai menuju kamar mandi. Ia mengguyur tubuh untuk menghilangkan pegal dan penat. Sedikit menggigil karena siraman air yang dingin. Tidak tahan, ia memutar kran dan membiarnya kesegaran air membasuh tubuhnya.Benaknya suram, banyak beban di pundak dan juga harus memikirkan produk-produk perusahaan, semua bagaikan benang kusut di otak Dewa. Ingin berteriak, tapi sebagai laki-laki ia merasa tidak seharusnya melakukan itu. Pernikahannya dengan Flora, membuat kesulitannya makin bertambah.
Dengan selembar handuk membalut tubuh, ia keluar dari kamar mandi. Tanpa memakai baju lebih dulu, Dewa menuju dapur. Di pintu ruang makan ia tertegun, menatap Flora yang sibuk menyiapkan hidangan. Wajah wanita itu berkeringat dengan anak-anak rambut terburai di dahi. Ia berdehem dan Flora mengangkat wajah karena kaget.
"Kak, di-dimakan sarapannya," ucap Flora gugup.
Dewa berkacak pinggang, air menetes dari rambut lalu turun ke perutnya. Ia tidak peduli dengan keadaanya yang basah. Menatap Flora dengan menyipit.
"Kenapa kamu biarkan aku tidur di luar?" tegurnya dingin.
Flora menggeleng. "Kak, aku nggak kuat gendong ke kamar."
"Alasan! Siapa yang minta kamu pindahin? Aku hanya minta kamu buka pintu!"
"Maaf."
Tidak ingin bertengkar di pagi buta, Flora menunduk. Membalikkan tubuh dan pergi arah dapur, meninggalkan Dewa sendirian.
Di dapur, ia menarik napas panjang. Memegang wastafel dengan tangan gemetar. Pernikahannya dengan Dewa baru berjalan beberapa hari tapi batinnya sudah sangat tersiksa. Jika bukan demi bayi dalam kandungannya, ingin rasanya ia pergi. Jauh dari Dewa dan keluarga ini. Namun, lagi-lagi ia tidak mungkin melakukan itu.
"Jangan coba-coba kabur, ingat utang keluargamu. Kecuali, kamu mau orang tuamu masuk penjara."
Peringatan yang diberikan sang ibu mertua, Risti, terus menerus diucapkan wanita itu. Ia hanya bisa menerima tanpa suara. Wanita pertengan lima puluhan itu sekarang sedang tidak ada di rumah. Beralasan ingin menghilangkan kesedihan karena kematian Satria, Risti melakukan perjalanan keliling Indonesia bersama teman-temannya. Ia mendengar wanita itu meminta kartu kredit dan uang dari Dewa.
Sedangkan ia di sini, terkurung di rumah sendirian. Meratapi kesedihan yang seakan tidak pernah ingin pergi.
Suara mobil membuatnya tersadar. Ia melangkah ke ruang makan dan mendapati hidangan masih utuh di atas meja. Menghela napas panjang, ia terduduk di kursi dan memijat kepala.
**
Di jalan raya, Dewa menatap lautan kendaraan di depannya. Kemacetan terasa memuakkan. Ia ada meeting pukul sepuluh. Sekarang sudah hampir pukul sembilan dan ia masih di jalan. Meraih ponsel, dan menyambungkannya ke dashboard mobil, ia membuat panggilan. Diangkat pada dering ketiga."Selama pagi, Pak."
"Septian, apa Arini belum masuk kerja?"
"Belum, Pak. Dia bilang akan datang Minggu depan. Ibunya masih sakit."
Dewa menyumpah dalam hati. Saat ini, ia membutuhkan Arini untuk membantunya menghandle rapat dan mendapati wanita itu tidak masuk kerja, membuatnya kesal.
"Kalau begitu kamu yang siapkan dokumen dan kotrak."
"Baik, Pak. Sudah siapkan dari tadi."
"Bagus, aku tiba dalam satu jam."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dendam Dan Obsesi (Turun Ranjang)
Lãng mạnFlora menjadi tersangka dari terbunuhnya sang suami, Satria. Meski polisi memutuskan dia tidak bersalah tapi keluarga Satria tidak percaya. Dewa, adik laki-laki Satria memutuskan untuk menikahi Flora yang sedang mengandung demi membuktikan kalau wan...