Bab 8b

6.6K 834 20
                                    

Risti memberi kabar, tidak akan pulang untuk makan malam. Malam ini, terpaksa Dewa makan bersama Nabila karena Flora menolak makan bersama. Setelah selesai memasak, wanita itu tanpa menegurnya langsung ke kamar dan tidak keluar lagi hingga makan malam selesai.

Setelah Nabila naik ke atas, Dewa ragu-ragu di depan kamar Flora. Tangannya terangkat untuk mengetuk, tapi tersirat rasa enggan. Saat memutuskan untuk membatalkan niatnya, pintu kamar terbuka. Flora menatapnya kaget.

"Ada apa, Kak?"

Dewa terdiam sesaat, menatap mata Flora yang bulat. "Kami sudah selesai makan." Akhirnya hanya itu yang keluar dari mulutnya.

"Oh, ya sudah. Aku rapiin sekarang."

Melangkah ke samping, Flora bergegas ke dapur. Dewa menatap punggung istrinya dengan serba salah, Tadinya, ia bermaksut tanya tentang keadaan Flora. Apakah wanita itu membaca berita tentangnya dan Anete. Namun, begitu berhadapan, ia lupa ingin bicara apa.

Akhirnya, malam itu berlalu tanpa sepatah katapun keluar dari mulut Flora tentang Dewa. Wanita itu bersikap seperti biasanya, seolah-olah tidak ada yang berubah dengan Dewa.

Justru yang heboh adalah Risti. Sang mama mencecarnya tentang Anete dan keinginan untuk bertemu wanita itu.

"Gila, nggak nyangka kamu pacaran sama anak pengusaha terkenal. Orang tuanya itu kaya turun menurun."

Dewa hanya mengangkat bahu, enggan bicara soal Anete dengan mamanya.

"Dewaa, pertahankan wanita ini. Siapa namanya, Anete? Setelah bayi dalam kandungan Flora lahir, ceraikan dia dan menikahlah dengan Anete. Perusahaan kita makin besar kalau kamu menjadi suami Anete."

"Maaa, tolonglah." Dewa menyela enggan. "Aku belum memikirkan pernikahan atau apa pun dengan Anete."

"Kenapa?" tanya Risti galak. "Kurang apa dia? Atau, jangan-jangan kamu cinta pada wanita yang sudah membunuh kakakmu?"

Dewa menghela napas sambil menggeleng. "Bukan begitu, tapi banyak hal yang harus aku pikirkan selain pernikahan. Tolonglah, Ma. Perusahaan sedang membutuhkan perhatianku."

Perkataan Dewa akhirnya membuat Risti luluh. Ia tahu apa yang dikatakan anaknya ada benarnya juga. Perusahaan keluarga mereka sedang berkembang, meski menikahi Anete akan membawa banyak dampak kemajuan, tapi tidak bisa dilakukan dalam waktu dekat. Lagi pula masih ada Flora yang tercatat sah sebagai istri Dewa. Memikirkan Flora membuat Risti dilanda kejengkelan. Akhirnya, ia melampiaskan kejengkelannya dengan mengomel pada Flora dan mengomentari apa pun yang dianggap salah.

"Kerja yang benar. Jangan jadi benalu di rumah ini. Masa, ngelap meja aja nggak becus!"

Serasa hidup dalam neraka, itu yang ada di pikiran Flora saat Risti mengomel tiada henti. Kali ini, ia susah cukup pintar untuk menyembunyikan perasaannya. Berusaha tidak terpengaruh dengan ucapan Risti, sementara tangannya sibuk merapikan rumah, otaknya berpikir keras tentang pekerjaannya. Dengan begitu, ia tidak lagi merasa terlalu tertekan di rumah ini.

**

Semenjak menjadi istri Dewa, Flora tidak pernah menjenguk keluarganya. Memanfaatkan kesempatan selagi Risti dan Nabila pergi ke puncak, ia berkunjung ke rumahnya. Keadaannya masih sama seperti dulu. Rumah kecil yang berada di tengah perkampungan padat penduduk. Banguna rumah sudah banyak yang keropos dengan dinding mengelupas di sana sini.

Flora menatap keadaan rumahnya dengan miris. Dulu, mereka tinggak di rumah yang lumayan besar, saat usaha sang papa berkembang. Karena salah perhitungan akhirnya bangkrut. Papanya menjual rumah dan mobil, lalu pindah ke rumah yang lebih kecil. Menghela napas panjang, Flora mengetuk pintu.

"Maa, ada di dalam?"

Pintu membuka, sang mama menatapnya kaget lalu mengangkat bahu. "Syukur kamu datang," ucap Anira pada anaknya. "Kami belum makan dari pagi, bawa uang nggak?"

"Kok bisa?" tanya Flora kaget. "Bukannya udah buka usaha baru?"

Anira menggeleng. "Kami kena tipu orang. Papamu ada di kamar, masuk angin karena lapar. Ada uang nggak?"

Menghela napas panjang, Flora merogoh dompet dalam tas. Untungnya, ia punya sedikit simpanan. Menyisakan beberapa ribu untuk ongkos pulang, ia menyerahkan seluruh uangnya pada sang mama.

"Ini, Ma. Hanya ada ini."

Anira menatap lembaran uang di tangan anaknya. Tanpa banyak kata, menyambar uang dan bergegas keluar.

"Mama ke warung dulu, beli beras."

Tidak tahan dengan keadaan rumahnya yang berantakan, Flora mengambil sapu dan mulai merapikan. Saat papanya keluar dan melihatnya, orang tua itu hanya menatap sekilas lalu keluar dan tidak kembali. Entah ke mana perginya.

Sang mama kembali dengan sekarung kecil beras dan lauk pauk. Tak lama tercium aroma masakana, tepat saat dua adik Flora pulang sekolah.

Celoteh mereka mengisi kesunyian rumah. Flora menatap prihatin pada adik-adiknya yang makan dengan lahap saat menyantap telur dan kecap.

"Sekarang kamu tahu'kan keadaan kami? Itulah kenapa kami melarangmu bercerai dari Dewa. Tidak peduli apa pun yang dilakukan laki-laki itu padamu. Asalkan masih memberimu jatah, kamu harus bertahan. Sekarang, di mana lagi kamu dapatkan laki-laki yang bersedia menikahi wanita hamil?"

"Ma, kami menikah bukan karena cinta." Ia mencoba menjelas.

"Halah, peduli setan soal cinta. Toh, saat kami kelaparan seperti sekarang, cinta papamu nggak bisa bikin kami kenyang!"

Flora terdiam, tidak ingin menambah kemarahan sang mama. Ia menatap pintu yang terbuka lalu bertanya pelan. "Papa ke mana, Ma?"

Anira mengangkat bahu. "Entahlah, nanti juga pulang kalau lapar."

Setelah selesai membersihkan rumah, sambil mendengar mamanya curhat tentang keadaan ekonomi keluarga mereka, Flora pamit pulang.

"Sering-sering datang kalau ada uang. Kalau nggak, jatah dari suamimu kirim saja ke kami. Toh, kamu di sana nggak kekurangan!"

Pesan dari sang mama membuatnya sedih. Tanpa banyak kata, ia melangkah keluar. Perasaan sedih dan tertekan menggayut di dada. Tanpa sadar air mata menetes di pelupuk. Ia berdiri do tengah halaman, berusaha menahan isak.

"Flora? Itu kamu?"

Suara teguran membuat Flora terkaget. Ia mendongak dan tak jauh darinya, seorang laki-laki tampan dengan kemeja putih menatapnya sambil tersenyum. Wajah laki-laki itu dulu akrab dengannya sebelum ia menikah dengan Satria.

"Ternyata itu kamu, apa kabar Flora?"

Flora tertegun, menatap laki-laki yang datang dari masa lalunya. Detik itu juga berbagai kenangan membanjirinya, tentang cinta pertama, harapan, dan juga cita-cita yang dulu ada di antara dirinya dan laki-laki itu.

**

Kisah lengkap tersedia di google playbook.

Dendam Dan Obsesi (Turun Ranjang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang