Flora muncul dari dapur dengan wajah bersimbah peluh. Wanita itu terlihat kaget saat mendapati suaminya di meja makan. Dengan kikuk ia tersenyum lalu bertanya basa-basi.
"Sudah kenyang atau belum, Kak? Masih ada makanan kalau mau."
Dewa tidak menjawab, hanya menggeleng kecil. Matanya terpancang pada bagian depan tubuh Flora yang tertutup celemek basah. Rambut wanita itu berantakan dengan keringat membanjiri wajah Flora. Ia tidak, apakah pandangannya yang kabur atau memang benar demikian, tapi ia merasa kalau Flora sangat pucat.
"Kamu sakit?" Tanpa sadar, Dewa bertanya.
Flora menggeleng. "Nggak, Kak. Eh, kalau nggak mau makan, aku tinggal dulu."
Tanpa menunggu jawaban Dewa, wanita itu melesat ke arah lantai dua. Meninggalkan Dewa sendirian termenung di ruang makan. Samar-samar terdengar suara bentakan Risti dan ia tidak bisa berbuat apa-apa. Karena sama sepertinya, sang mama juga merasa terluka dengan kematian Satria. Mereka berdua punya pemikiran sama kalau Flora yang bertanggung jawab atas segala yang terjadi.
Setelah mencuci gelas bekas pakainya, ia beranjak ke kamar untuk mandi dan berganti pakaian. Setengah kemudian, keluar kamar berniat untuk mengunci pintu dan mendapati lampu ruang tengah masih menyala.
Ia mengamati Flora yang sibuk mengelap permukaan meja dalam posisu berjongkok. Saat berdiri, tubuh wanita itu sedikit oleng dan tanpa Dewa yang melihatnya, berlari menghampiri.
"Kamu kenapa?" tanya Dewa sambil memegang bahu Flora.
Mengerjap bingung, Flora menggeleng lemah. "Nggak kenapa-napa, Kak."
"Yakin? Barusan kayak kamu mau ambruk."
"Oh, mungkin tekanan darah rendah."
Flora mengangkat wajah dan menatap mata Dewa. Untuk sesaat keduanya berpandangan sebelum akhirnya Flora tersadar ada tangan Dewa di bahunya. Ia menggeliat dan beranjak dengan malu.
"Maaf, Kak. Aku ke dapur dulu."
Dewa termenung di tempatnya berdiri, menatap ke arah Flora menghilang. Ia tidak salah lihat, Flora memang kelelahan dan wanita itu berusaha menyembunyikannya. Terheran dengan sikapnya yang lembek terhadap wanita itu, Dewa mengutuk diri sendiri.
"Ingat, dia itu pembunuh. Jangan tertipu wajah polosnya," gumam Dewa kesal.
Pukul satu dini hari, pekerjaan Flora selesai. Dari mulai membersihkan lantai dua sampai mencuci peralatan makan. Pinggangnya terasa sakit, dan kakinya kram. Melangkah tersaruk menuju kamar, ia berbaring di atas ranjang dan meringis saat merasakan nyeri di sekujur tubuh.
Hari ini sangat melelahkan. Risti membawa teman-temannya datang dan seharian mereka merepotkannya. Ia curiga, sang mertua sengaja melakukan itu untuk menghukumnya. Tidak aneh jika itu benar, mengingat bagaimana sikap Risti selama ini padanya.
Ia merasa lelah, dan ingin tidur tapi ada satu pekerjaan yang harus diselesaikan. Akhirnya, setelah berbaring lima belas menit, ia bangkit dan tertatih menuju meja. Membuka laptop dan mulai tenggelam dalam aktivitas yang menyenankan. Saat berada di depan laptop, ia lupa segalanya. Termasuk kesedihannya di rumah ini. Baginya, dunia yang baru saja ia buat lebih menarik dari kehidupannya sendiri.
**
Keesokan paginya, Risti mengomel panjang lebar saat mendapati Flora belum bangun sedangkan dirinya dan Dewa sudah berpakaian rapi. Ia berniat menbangunkan menantunya tapi dilarang oleh Dewa.
"Kenapa nggak boleh? Sudah tugas dia untuk menyiapkan sarapan tiap pagi. Lagi pula, aku ada urusan penting, bisa telat kalau dia nggak bangun sekarang!"
![](https://img.wattpad.com/cover/259734426-288-k612558.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dendam Dan Obsesi (Turun Ranjang)
RomanceFlora menjadi tersangka dari terbunuhnya sang suami, Satria. Meski polisi memutuskan dia tidak bersalah tapi keluarga Satria tidak percaya. Dewa, adik laki-laki Satria memutuskan untuk menikahi Flora yang sedang mengandung demi membuktikan kalau wan...