Bab 3a

7.4K 803 15
                                    

Pernikahan kosong, tanpa cinta, tanpa kehangatan, hanya formalitas di atas kertas, itu yang dirasakan baik Dewa maupun Flora. Keduanya bagai orang asing yang tinggak bersama. Kehadiran Risti pun tidak banyak membantu.

Karena wanita setengah baya itu seperti bergelit dengan duka yang tidak pernah usai karena kematian anak sulungnya.
Flora tahu, betapa Risti amat memuju Satria. Menganggap anak sulungnya sebagai anak paling hebat dan berbakat. Wanita itu bahkan tanpa malu-malu membandingkan  anak-anaknya satu sama lain dan terlihat jelas bagaiama ia menyayangi Satria dibanding Dewa.

“Bukan salahku pilih kasih, Flora. Satria itu dari kecil ikut aku, waktu aku dan suamiku bercerai. Sedangkan Dewa, diasuh oleh suamiku dan istri barunya. Bagiku, Satria adalah segalanya. Dia menemaniku saat susah, saat keadaan sulit, dan sama sekali tidak mengeluh. Hingga akhirnya, kami bisa seperti sekarang.”

Flora tidak dapat memahami alasan Risti yang pilih kasih. Dengan dalih Satria yang ikut dengannya, wanita itu membedakan kasih sayang antara dua anaknya dengan begitu nyata.

Dewa sendiri, meski berada di bawah pengasuhan ibu tiri tapi tumbuh sebagai laki-laki yang berbakti. Terbukti saat laki-laki itu memutuskan bekerja sama dengan Satria dan membuka usaha makanan kekinian yang menjadi booming, karena kerja keras keduanya. Bisa dilihat, Dewa juga sangat menyayangi mamanya, hanya saja Risti yang menjaga jarak. Itu yang terlihat oleh Flora.

“Ada sarapan apa?” teguran dari pintu dapur membuat Flora mendongak. Risti menguap, masih dalam balutan gaun tidur. “Aku lapar.”

Flora menoleh. “Nasi goreng mau nggak. Ma?”

Risti menghela napas, menatap menantunya dengan kritis. “Kamu sudah berapa tahu jadi menantuku? Mana mau aku pagi-pagi begini makan nasi? Yang lain, buatkan aku sandwich!”

Risti berlalu sambil menggerutu, meninggalkan Flora berdiri di dapur. Sekarang pukul 10.30 dan nyaris sudah mencapai waktu makan siang.  Bagi Risti yang baru saja bangun tidur, tentu saja masih pagi.

Ia menyiapkan makanan yang diminta mertuanya, dan membawa ke ruang makan. Di mana ada Risti yang sedang menatap layar ponsel dengan rokok di tangan. Meski sudah berkali-kali diingatkan Satria agar tidak merokok tapi Risti tidak peduli.

“Lusa perayaan seratus hari kematian suamimu,” ucap Risti pada Flora. “Apa kamu merasa lega sekarang?”

“Maa ….” Ucap Flora lirih.

Risti meringis. “Senang tentu saja. Akhirnya laki-laki yang selama ini membuatmu sebal, menghilang dari muka bumi.”

Flora menggeleng. “Nggak, Ma. Aku nggak pernah mikir begitu!” Ia membantah keras.

“Oh, ya? Kalau begitu kenapa kamu bunuh anakku,” desis Risti dengan pandangan berkilat. “Aku masih tidak paham, alasanmu yang menjadikan anakku sebagai korban dari tindakanmu yang biadap! Dia hanya laki-laki biasa, seorang pekerja keras, dan sayang keluarga. Namun, kamu menghancurkan hidupnya!”

Berdiri gemetar dari ujung rambut sampai ujung kaki, Flora tidak mampu bicara. Bagaimana mungkin ia mengakui perbuatan yang tidak ia lakukan. Ia juga tidak ingin bicara perihal mantan suaminya yang sudah meninggal.

Kenangan Satria melekat erat di pikiran Risti dan Dewa, dan ia tidak ingin mengusik kenangan mereka.
Risti menghela napas, menepuk dadanya yang nyeri lalu meraih piring berisi sandwich. “Pergilah! Benci aku melihat mukamu itu!”

Flora menghela napas dan kembali ke dapur. Mengabaikan perasaan terluka karena penghinaan Risti. Hanya sampai anak ini lahir, ia akan bebas. Flora mengelus perutnya. Berharap anaknya tumbuh sehat meski ia dalam keadaan tertekan.

Dendam Dan Obsesi (Turun Ranjang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang