Bagi wanita seperti Bunga, bisa menikah dengan laki-laki Jaka adalah impian terbesarnya. Memang, mereka tidak saling mencinta tapi karena tuntutan keluarga keduanya menikah. Jaka adalah laki-laki baik, sangat penyayang, dan tipe suami idaman. Segala sesuatu yang diinginkan Bunga, dituruti oleh laki-laki itu. Tidak terkecuali perhiasan maupun barang-barang mewah, meski Bunga tidak menginginkannya. Suaminya memberikannya tanpa pamrih.
“Yang kamu lakukan hanya menjadi istriku, Bunga. Dan aku jamin kamu bahagia.”
Bunga benar-benar bahagia menjadi istri Jaka. Meski belum ada tanda-tanda kehamilan hingga usia pernikahan menginjak setengah tahun, tapi keduanya tidak terlalu memusingkan tentang itu. Bagi Bunga dan Jaka, pernikahan dari perjodohan pada akhirnya benar-benar menumbuhkan rasa cinta. Itu yang ada di pikiran Bunga, hingga suatu hari kenyataan mengerikan menghampirinya. Jaka yang ia kenal, bukanlah Jaka yang sesungguhnya.
**
Flora terbangun dengan kepala berdentum menyakitkan. Ia menyentuh dahi dan bersyukur badannya tidak lagi demam. Menatap jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh. Ia mengeluh dalam hati karena bangun teramat siang. Pasti Risti mengomel tiada henti. Saat menjejakan diri ke lantai, tanpa sengaja kaki nya menyenggol ember kecil dengan handuk dan air. Ia mengernyit, menatap barang-barang itu. Menduga siapa orang yang membantunya mengompres badan, apakah Risti atau Dewa? Dua orang yang sama sekali tidak masuk hitungannya tapi tidak ada pilihan lain. Ia mendongka saat pintu dibuka dan sosok Dewa berdiri sambil bertelekan pada kusen. Laki-laki itu menatapnya sekilas sebelum berucap pelan.
“Ganti baju, kita ke dokter. Sekarang, nggak pakai lama!”
Flora mengerti, ternyata yang baru saja mengompresnya adalah Dewa. Ia heran laki-laki itu belum berangkat kerja dan masih sempat mengurusnya. Tidak ingin membuat Dewa marah, ia beranjak ke kamar mandi. Membasuh wajah dan berganti baju. Melangkah tertatih keluar kamar dan menyapa Dewa yang duduk di sofa.
“Kak, aku sudah siap.”
Tanpa mengatakan apa-pun, Dewa bangkit dari sofa dan melangkah keluar, diikuti oleh Flora. Sepanjang jalan, mereka berdua duduk dalam diam. Flora yang baru pertama kali pergi bersama Dewa, merasa amat canggung. Terlebih duduk bersebelahan dengan laki-laki itu. Setelah mengatakan alamat dokter kandungan langganan, ia terdiam dan membuang muka ke arah jendela.
Setengah jam kemudian, mereka sampai ke dokter. Setelah mengambil nomor antrian, Flora duduk menunggu. Dewa tidak ikut masuk, laki-laki itu dengan enggan mengatakan akan menunggu di mobil. Tidak mengherankan, mana mungkin Dewa mau repot-repot menemaninya. Sudah diantar sampai dokter saja adalah hal paling besar untuknya.
Dokter memeriksa dan memberinya obat dan vitamin, memberi saran agar dirinya tidak terlalu lelah dan stress. Hal yang paling tidak mungkin ia lakukan. Bagaimana mungkin tidak stress dan sakit kalau berada di rumah Risti dan Dewa.
Seperti hal-nya saat mengantar tadi, Dewa pun tidak mengatakan apa pun saat mengantarnya pulang. Begitu Flora tiba di rumah, laki-laki itu bergegas pergi. Tidak ingin sakit berkepanjangan, Flora makan dan meminum obat. Dilanjut mengerjakan rumah. Ia harus sehat, harus kuat, jika tidak ingin menjadi pesakitan di rumah ini.
**
“Selamat siang, Pak. Dokumen dan berkas yang harus ditanda-tangani sudah saya letakkan di atas meja.”
Arini berdiri dan mengiringi langkah Dewa ke ruangan .”Ada beberapa telepon dari klien dan mereka menginginkan Anda menelepon balik.”
“Mana daftar klien yang telepon?” tanya Dewa sambil mengenyakkam diri di kursi.
“Ada di dalam map. Mau minum apa, Pak. Teh atau kopi?” tanya Arini dengan senyum manis tersungging.
“Kopi pahit,” jawab Dewa tanpa mendongak. Laki-laki itu tidak bereaksi saat sekretarisnya berpamitan pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dendam Dan Obsesi (Turun Ranjang)
RomansaFlora menjadi tersangka dari terbunuhnya sang suami, Satria. Meski polisi memutuskan dia tidak bersalah tapi keluarga Satria tidak percaya. Dewa, adik laki-laki Satria memutuskan untuk menikahi Flora yang sedang mengandung demi membuktikan kalau wan...