Flora terdiam, tanpa sadar menjilat ujung jarinya. Rasa asin dari krupuk terasa di lidah. Ia bahkan tidak peduli pada kotoran yang menempel di meja dan berpindah ke mulutnya.
Saat ini, pikirannya mengembara ke masa lalu. Tentang Satria dan kehidupan rumah tangga mereka. Sekian lama bersama, mengarungi biduk rumah tangga yang nyaris bagai mimpi untuknya.
“Flora!”
Teguran Dewa bagai bergaung di dalam pikirannya. Ia masih tetap tenggelam dalam lamunannya.
“Floraa! Kamu dengar?”
Mengerjap, Flora berusaha mengusir air mata yang mendadak hendak keluar. Ia bangkit dari kursi, meriah mangkok Dewa dan membawanya ke westafel. Mengabaikan laki-laki itu yang menatapnya bingung.
“Hei, letakkan mangkok itu. Aku sedang bicara padamu!”
Flora mengabaikannya, sibuk mencuci mangkok dan bersikap seakan tidak ada orang lain yang bicara dengannya. Ia butuh untuk tetap bergerak, untuk tetap sibuk dan mengalihkan perhatiannya dari perkataan Dewa. Rupanya, Dewa bukan laki-laki yang bisa mudah dialihkan saat beberapa detik kemudian, Flora merasa bahunya disambar dan tubuhnya dibalik.
Mereka berdiri berhadapan, dengan mata Dewa terpancang ke arahnya. Tangan laki-laki itu merengkuh bahu dengan tubuh mereka nyaris menempel satu sama lain. Tanpa kata, Flora berusaha menggeliat. Dewa tidak membiarkannya lepas.
“Ada apa? Apa yang kamu tutupi, hah? Apa kakakku berselingkuh dan itu yang membuatmu membunuhnya? Hah! Coba bilang!”
Flora menarik napas kesal, menatap wajah Dewa lalu tanpa ampun menginjak kaki laki-laki itu dan membuat suaminya menjerit.
“Shit!”
“Jangan menyentuhku hanya sekadar untuk meluapkan emosimu,” desis Flora. “kamu ingin tahu kenapa kakakmu terbunuh? Kamu ingin tahu siapa yang berselingkuh? Tanya polisi!”
Meringis kesakitan, Dewa berusaha menegakkan tubuh. Ia menatap Flora dan ketegasan wanita itu. Ada yang berbeda dari pembawaan wanita itu, dari pertama kali mereka menjadi suami istri. Flora yang sekarang lebih berani berkata-kata.
“Aku ingin kamu yang mengatakannya.”
Flora mengangkat wajah. “Kenapa? Kamu ingin masalah pembunuhkan kakakmu cepat selesai? Kamu ingin aku mengaku salah? Kalau akulah si pembunuh?”
Perkataan Flora yang sengaja menantang membuat Dewa terdiam. Ia mencoba memahami apa yang dipikirkan wanita itu. Kali ini, Flora berkata cukup keras tentang pembunuhan, tanpa air mata, tanpa ketakutan. Sungguh perubahan yang drastis.
“Flora, kamu berbeda sekarang.”
Teguran Dewa membuat Flora yang kesal mengedip. Menatap pada laki-laki yang kini menatapnya seolah-olah baru pertama bertemu. Keduanya saling memandang, dengan tatapan menilai.
“Mungkin aku sudah lelah,” jawab Flora pelan. “Aku bahkan tak peduli lagi kalian mau menilaiku seperti apa.” Ia mengalihkan pandangan ke arah westafel. “Kalau memang harus di pernjara, aku siap. Asalkan kalian bisa membuntikan aku bersalah. Urusan pernikahan kita, hanya sampai anak ini lahir, setelah itu kita bebas.”
Dewa tidak membantah ucapan Flora. Wanita itu bicara tentang bayi, tentang penjara, dengan kepasrahan tersirat di ucapannya. Tidak ingin bersilat lidah lebih lama, ia membalikkan tubuh dan pergi meninggalkan wanita itu sendiri.
Di dalam dapur, Flora menajamkan pendengaran. Saat langkah kaki Dewa terdengar menjauh, ruang makan hening, ia menarik napas lega. Melorot ke lantai dengan wajah menghadap ke lemari, ia mulai menangis dengan gemetar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dendam Dan Obsesi (Turun Ranjang)
Lãng mạnFlora menjadi tersangka dari terbunuhnya sang suami, Satria. Meski polisi memutuskan dia tidak bersalah tapi keluarga Satria tidak percaya. Dewa, adik laki-laki Satria memutuskan untuk menikahi Flora yang sedang mengandung demi membuktikan kalau wan...