Bab 4a

7.2K 866 30
                                    

Kelelahan, tekanan batin, atau bisa jadi cuaca yang sering hujan, membuat Flora mudah sekali merasa lelah. Apalagi dalam keadaan hamil harus membersihkan rumah sendirian. Dari bangun tidur sudah berkutat di dapur, mencuci, masak makan siang, hingga merapikan kamar. Ia merasa, hidupnya tak ubahnya seorang pembantu. Kalau seorang pembantu saja masih digaji, beda dengan dirinya yang justru menerima banyak hujatan dan makian. Ia bukan pembantu tapi orang lain yang dianggap tidak ada di rumah ini.

Pukul enam pagi, Flora berbaring di ranjang kamarnya yang sepi. Menatap langit-langit kamar dengan pikiran melayang tak tentu arah. Ingatannya tertuju pada sang mantan suami yang meninggal beberapa bulan lalu.

Ia mengangkat kedua tangan ke udara, membolak-balikkan telapak dan detik itu juga merasakan kengerian. Teringat bagaimana darah Satria membanjiri tangannya. Bau anyir bercampur dengan perasaan kaget dan membuatnya tak mampu berteriak. Yang ia lakukan saat itu, hanya memeluk suaminya.

Sebilah pisau panjang dan tipis, menjadi algojo yang mengakhiri nyawa Satria dengan kejam. Flora menurunkan tangan, mengusap matanya yang memanas dan terisak. Pernikahan sekian tahun dengan Satria berakhir dengan darah.

“Nggak masalah, kalau sampai sekarang kita nggak punya anak. Yang penting, kita saling mencintai.” Itu yang diucapkan Satria, setiap kali ia mengutarakan kegundahannya karena belum hamil juga. Sedangkan tekanan dari pihak keluarga sangat kuat agar mereka segera punya anak. Risti bahkan mengusulkan Satria untuk berpoligami seandainya Flora tak kunjung hamil juga.

“Anak-anakku nggak mungkin mandul!” ucap wanita itu penuh keangkuhan. Dalam hal ini, harusnya kamu yang dicurigai, kenapa sampai sekarang tidak hamil juga. Jangan-jangan, yang mandul itu kamu!”

Flora berbaring menyamping, kali ini menatap tembok kamarnya yang putih. Menyadari kalau dari awal pernikahannya dengan Satria, Risti memang tidak menyukainya. Wanita itu menganggap, pernikahannya terjadi hanya karena untuk pembayaran utang keluarganya yang begitu banyak. Flora pun beranggapan demikian, tapi sikap Satria yang lembut dan penuh kasih sayang membuatnya lambat laun jatuh cinta.

“Kamu istriku, jangan beranggapan kamu adalah penebus utang.” Kata-kata Satria saat pertama kali meminangnya, masih teringiang sampai sekarang. Hubungan mereka yang awalnya tanpa cinta, lambat laun menjadi akrab dan saling menyayangi. Setidaknya, ia beranggapan demikian.

Menggeliat dan duduk di ranjang, pikiran Flora kini tertuju pada suami keduanya. Meski mereka bersaudara, tapi sikap dan pembawaan sangat jauh berbeda. Santria sangat sopan, ramah dan manis, sedangkan Dewa cenderung tidak suka berbasa-basi. Laki-laki godrong itu, memang lebih pendiam dari pada kakaknya. Menikahi dua saudara yang sangat berbeda karakter, Flora seperti disuruh untuk belajar ulang.

Setelah mencuci muka dan menguncir rambut, ia menuju ruang tamu. Rutinitasnya selalu sama setiap hari. Kebosanan juga kerap menghinggapi. Namun, ia bersabar demi bayi dalam kandungan.

Tersaruk karena merasa lelah, Flora membuka gerbang. Menuju ke tukang sayur yang mangkal di ujung jalan. Sebenarnya, ia enggan ke tukang sayur jam segini, karena pasti banyak ibu-ibu di sana. Terpaksa ia lakukan demi Risti yang ingin makan sayur asem. Benar dugaannya, ada beberapa orang berkerumun di sana. Mengembuskan napas enggan, ia mendekati mereka.

“Eh, Mbak Flora. Tumben pagi bener belinya.” Tukang sayur, sepasang laki-laki dan perempuan umur 30 tahunan menyapa.

Flora hanya tersenyum kecil dan mulai memilah sayuran yang akan dibeli.

“Enak ya? Jadi Flora. Setelah dapat kakaknya, sekarang adiknya.” Seorang perempuan gemuk bicara dengan nada keras.

“Aku juga mau begitu, sayangnya aja aku masih ada suami.” Timpal yang lain.

Dendam Dan Obsesi (Turun Ranjang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang