Happy Valentine!
14 Feb 2015
Yang ngga ngerayain, yang dilarang ngerayain, yang ngga punya gebetan buat ngerayain, silakan lirik keluarganya. Yang ngga ada keluarganya boleh lirik temannya. Kalo ga ada juga, boleh lirik orang di sekelilingnya dan saling ngerayain bareng, ngga usah nyingir karena ini cuma buat happy-happy. Why so serious, oke? Karena valentine ngga cuma di Februari. Sama seperti hari Ibu, ngga cuma di Desember. MIKIR!====================
TIGA
Rim hanya mampu geleng-geleng kepala melihat tingkah sahabatnya yang sedang mengintip sang Pangerang Sekolah—Red—di balik loker, seperti yang biasa dia lakukan sejak kelas 1."Tingkahmu ini seperti seorang stalker," katanya.
"Aku bukan stalker," tukas Vin. Dua detik kemudian, dia membalikan badan melihat Rim yang menaikan alis padanya. "Oke, mungkin sedikit."
"Sedikit?" Rim mengulang tak percaya. "Vin, kau tak melihat cowok lain selain apa ya... cowok ganteng yang kebetulan pula pangeran sekolah, punya cewek cantik tiada tara, dan juga normal. Kau cinta mati padanya. Kau terobsesi."
"Ini bukan obsesi," desis Vin. "Aku hanya... hanya jatuh cinta padanya."
Rim memutar bola mata, menyandarkan punggungnya ke loker, melirik Vin yang kembali menganggumi Red dari kejauhan. Cowok ganteng itu tengah mengambil buku-buku pelajarannya. Sang kekasih tercinta, Iki, berada di sampingnya. Kedua orang itu terlihat seperti pasangan selibritis dengan aura bintang di sekitar mereka.
Sesungguhnya, Rim kasihan pada Vin yang tak mungkin mendapatkan cinta Red. Bukan cuma karena Red bukan gay, tapi juga karena tingkah Vin yang tak mau mengajak bicara Red. Rim pernah beberapa kali membuat Vin bicara pada Red, tapi Vin sudah keburu jadi batu duluan dan tak bisa bicara karena terlalu gugup menghadapi Red. Dalam sekejap, Red sudah pasti melupakan Vin.
"Hari ini pun dia keren."
"Red tak pernah terlihat tak keren."
Vin memutar bola mata. "Ayo, kita ada kelas." Dengan susah payah, Vin memaksa dirinya untuk tidak melihat keberadaan Red dan menarik Rim untuk ke kelas berikutnya karena bel pertama sudah berdering.
Sudah dua minggu sejak Valentine dan Red sama sekali tak menunjukan bukti bahwa dia mengenali Vin. Mereka sering berpapasan di koridor. Rim bahkan pernah dengan sengaja meneriaki nama Red—sebelum Vin menyumpal mulutnya—tapi tak ada tanda-tanda bahwa Red mengingat kejadian waktu itu.
Kelas hari ini lewat begitu saja karena Vin sama sekali tak bisa konsentrasi.
"Vin, kemari sebentar," Mrs Norris memanggilnya ketika kelas hari ini berakhir.
"Aku akan menunggumu di kantin," kata Rim melambai padanya. Vin mendatangi meja kerja Mrs Norris, menunggu wanita tua yang nyaris pensiun itu untuk berbicara.
"Vin, aku sudah melihat universitas tujuanmu. Kau ingin menjadi sejarawan, benar begitu kan?" Vin mengangguk. "Untuk mencapai ke universitas itu kau harus punya nilai yang bagus. Kau mengalami masalah pada dua bab sejarah ini dan aku tak bisa membantumu bila kau tak memperbaiki nilaimu. Aku juga tak bisa mengeluarkan surat rekomendasi bila kau masih gagal di tes berikutnya."
Hati Vin mencelos. Dia sudah berusaha keras terhadap dua bab berikutnya, tapi dia memang tak bisa menghapal seluruh tanggal itu secara akurat. "Jadi... erm, aku harus bagaimana? Apa aku harus menurunkan standar universitas pilihanku?"
"Kau tak harus melakukannya, Dear. Satu bulan lagi akan ada ujian perbaikan untuk seluruh nilai yang gagal. Kau bisa memperbaikinya di sana. Bagaimana bila kau mendapatkan pelajaran ekstra setelah pulang sekolah selama dua jam? Aku sudah mencari tutor untukmu. Murid baik sepertimu tak harus gagal hanya karena satu dua bab."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love at The First Sight
RomanceVin sudah lama jatuh hati pada pangeran sekolah, Red. Tiga tahun memendam perasaan, akankah dia mendapatkan cintanya dari pacar Red selama empat tahun, Iki? Sebelum tamat, Vin ingin Red menyadari keberadaannya, walau hanya sedetik. Dan sebuah cokela...