"Aku mencintaimu."
Sudah bertahun-tahun lamanya Vin membayangkan Red menyebutkan kalimat sakti itu padanya. Dia selama ini hanya membayangkannya. Impian semata.
Tapi dia sama sekali tak menyangka kalau hal itu akan menjadi kenyataan.
Vin membuka mata, melihat langit-langit kamarnya.
"Ternyata cuma mimpi..." gumamnya, kemudian menghela napas. Red tak mungkin mengucapkan kalimat itu. Harusnya dia tahu. Kalau Red mengucapkan kalimat itu, it would be like a dream comes true.
"Apanya yang cuma mimpi?"
Kantuk Vin segera menghilang begitu Red bersuara. Sedari tadi dia duduk di samping tempat tidurnya, membaca dan menunggu Vin sadar karena dia mulai cemas tak karuan. Tapi tidak ada yang salah pada Vin karena dia hanya shock pada pernyataan cintanya.
"Uh... tidak apa-apa," kata Vin dan alis Red terangkat naik, tanda tidak percaya. "Aku pasti ketiduran--"
"Ketiduran?" potong Red tak percaya. "Kau pingsan karena aku menyatakan cinta."
Vin mengerjap, mata nyaris keluar begitu mendengar pernyataan Red.
"Aku tak percaya kau pingsan saat aku bilang cinta," gerutu Red. Dia sebenarnya sedikit sebal karena Vin pingsan begitu saja dan membuatnya cemas setengah mati. Namun, begitu melihat wajah merona yang ditunjukan Vin, juga saat matanya mulai berkaca-kaca membuat seluruh rasa sebalnya hilang begitu saja.
"Ini pasti mimpi," gumam Vin, menarik selimut menutupi kepalanya. "Ini pasti cuma mimpi."
Red menghela napas kemudian menunduk untuk memeluk tubuh Vin. Pria itu masih bergumam "Ini cuma mimpi" berulang-ulang, yang membuat dada Red bergetar. Sekarang, dia bisa mengerti mengapa Vin bersikap seperti itu. Rasa cintanya pada Red membuatnya ragu pada Red.
"Aku mencintaimu."
"Ini mimpi..."
"Aku mencintaimu, Vin."
"Ini tak nyata."
"Kau tak sedang bermimpi atau berhalusinasi, Vin." Red menarik turun selimut Vin, melihat air mata kebahagiaan--sekaligus rasa tak percaya--yang bercucuran di sana. "Aku mencintaimu, Vin. Aku akan mengatakannya berulang-ulang sampai kau percaya kalau ini bukan mimpi."
Vin gemetaran begitu Red menghapus air matanya lalu mencium kelopak matanya. Jantungnya kembali deg-degan lagi. Hangat tubuh Red yang ada di atasnya seakan mengalir padanya. Bila ini bukan mimpi, bisakah dia berharap kalau dia sudah bisa memeluk kebahagiaan yang selama ini dia idamkan? Bolehkah dia mengatakan pada semua orang bahwa Red adalah miliknya?
"Aku..." Vin tersedak, "aku tak tahu harus bilang apa."
Red tersenyum, "Kau bisa bilang kalau kau juga mencintaiku. Aku hanya mendengar sekali saja kata itu keluar dari mulutmu."
Vin menatap mata Red. Dia bisa melihat kejadian empat tahun lalu yang menjadi salah satu hal paling buruk sekaligus juga paling menyenangkan dalam hidupnya. Saat itu, dia mengatakan cintanya pada Red dan menciumnya, meskipun pada akhirnya Red menolaknya.
Pada saat itu, dia merasa tidak berdaya. Dia sempat berpikir bahwa Red tidak akan pernah membalas cintanya. Dia hanya berpegang pada harapan tipis yang dikatakan Red untuk mengejarnya. Empat tahun... empat tahun lamanya dia berjuang dan sampai pada saat ini.
"Aku mencintaimu..." kata Vin terisak-isak.
"Aku juga mencintaimu," balas Red dan Vin malah semakin menangis.
Red memeluk Vin erat-erat ke dadanya. Meskipun posisinya sedikit menyulitkan karena dia harus menunduk, tapi dia tak keberatan sama sekali. Apalagi saat tangan Vin mulai bergerak perlahan untuk balas memeluknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love at The First Sight
RomanceVin sudah lama jatuh hati pada pangeran sekolah, Red. Tiga tahun memendam perasaan, akankah dia mendapatkan cintanya dari pacar Red selama empat tahun, Iki? Sebelum tamat, Vin ingin Red menyadari keberadaannya, walau hanya sedetik. Dan sebuah cokela...