Sembilan

41.9K 3.5K 514
                                    

Red terkenal sebagai pria yang paling diidamkan oleh seluruh wanita akhir-akhir ini sejak tahun ajaran baru. Namun, kabar 'jomblo' dirinya seperti hilang diterpa topan sejak kencan waktu itu dengan Vin. Dan, bukannya menyerah, para wanita sepertinya semakin gencar mengincarnya.

"Red, apa kau ingin makan malam bersamaku? Malam ini aku akan memasak makanan kesukaanmu. Orang tuaku juga--"

Red buru-buru memotong, "Maaf, aku sudah punya gebetan." Hans yang berada di sampingnya selama ini nyaris tertawa terpingkal-pingkal melihat ekspresi yang ditunjukan oleh wanita yang ditolak oleh Red. Bukan pertama kali, dan juga bukan jadi terkahir pula. Namun, mereka semua tak pernah belajar dari pengalaman.

"Tapi, kan--"

"Dan Vin orangnya sangat cemburuan," sambung Red. "Sangat tak adil baginya bila aku selingkuh di belakangnya. Dan sangat tak adil juga bagimu bila kau dijadikan yang kedua. Kau bisa mendapatkan pria yang lebih baik daripadaku. Kau hanya perlu menemukannya."

Dan perkataannya menutup semua alasan.

"Ini bukan pertama kalinya ada wanita yang mengajakmu kencan," kata Hans, mengikuti Red keluar dari gedung universitas untuk berjalan bersama menuju asrama. "Sepertinya, Vin benar-benar beruntung mendapatkanmu."

"Aku tak merasa seperti itu," gumam Red sambil menghela napas. "Akhir-akhir ini dia tak banyak bicara. Aku pernah mengajaknya untuk kencan, tapi dia tak terlihat menikmatinya. Apa juga sudah berusaha untuk mengajaknya nonton di kamar, karena kupikir dia akan merasa lebih nyaman. Tapi, dia sama sekali tak begitu tertarik. Aku tak tahu lagi harus bagaimana."

Alis Hans naik, lalu dia mengetuk-ngetuk dagunya. "Mungkin kau belum menunjukan cintamu padanya?"

"Aku sudah berusaha," gerutu Red, kali ini sambil cemberut. "Aku bahkan memegang tangannya di depan publik. Aku bahkan menolak para gadis yang ingin kencan denganku dan bilang kalau aku kencan dengan Vin. Tapi, bukannya menjadi lebih dekat, kami malah semakin menjauh. Bantu aku, Hans."

"Weeell," kata Hans lambat-lambat. "Aku tak pernah pacaran dengan cowok, jadi aku tak tahu."

"Aku juga tak pernah pacaran dengan cowok, jadi bagaimana aku juga bisa tahu?" balas Red. Ya ampun... "Kurasa, aku harus mengajaknya kencan lagi. Ke mana aku harus mengajaknya kencan, menurutmu?"

Hans mengangkat kedua bahunya. "Entahlah. Menurutku, kau harus mengajaknya ke tempat yang membuatnya nyaman. Mungkin ke aquarium atau museum cukup bagus."

Tak pernah terbayang dalam pikiran Red kalau dia akan meminta pendapat orang mengenai ke mana dia harus mengajak kencan seseorang. Red, sejujurnya, mulai tidak percaya diri. Bila Vin tidak mengatakan apa-apa soal perasaannya, bagaimana dia bisa tahu? Dan semakin lama membiarkan Vin terlalu berkutat dalam pikirannya hanya akan membuat kondisi hubungan mereka semakin buruk.

"Oh, ya, kapan kau akan pergi ke Washington?" tanya Hans. "Apa kau sudah memberitahu Vin?"

"Minggu depan dan belum, aku belum memberitahu Vin."

"Kau harus memberitahunya, kalau tidak dia pasti akan cemas."

"Aku akan memberitahunya malam ini."

Tapi, malamnya Red harus pulang larut karena tiba-tiba mendapatkan panggilan kerja. Vin sudah tertidur lelap di tempat tidur seperti biasa. Setiap melihat Vin, sebuah senyuman selalu terukir di wajahnya. Tanpa sadar dia selalu melakukan hal yang sama tiap malam bila menemukan Vin tertidur dan tanpa pertahanan: mengecup dahi, hidung, lalu bibirnya.

Namun, tidak seperti malam lainnya, di mana dia tak pernah ketahuan karena Vin tertidur amat lelap, Vin malah terjaga.

Mata Vin terbuka tiba-tiba dan Red yang terkejut nyaris terjungkal ke belakang. Namun, yang membuatnya merasa seakan memeluk dunia adalah saat melihat wajah Vin yang merona dan pria itu segera menutup kepalanya dengan selimut.

Love at The First SightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang