Red menghela napas. Mengapa dia ada disini?
"Red, kenapa tidak masuk?" Profesor Arnold menepuk bahu Red. Pria tua itu mengenakan jaket kulit, celana jeans, tampak begitu bersemangat dengan senyuman secerah matahari.
"Profesor, ini club striptease."
"Lalu?"
"Mengapa kau mengajakku kemari?"
"Anak Muda, sudah berapa lama kau di sini?" Profesor Arnold balik bertanya. Namun Red tidak menjawab. "Sudah dua tahun ini aku perhatikan, bahwa kau sama sekali tidak pernah bersenang-senang. Kau hanya berkutat pada penelitianmu. Anak muda seumuranmu, harusnya bersenang-senang. Kebahagian tidak datang begitu saja. Kebahagiaan kadang harus dicari."
"Aku tidak berniat mencari kebahagiaan di--"
Red tidak melanjutkan karena Profesor Arnold telah menariknya masuk.
Seminggu lalu, salah satu teman grup penelitian Profesor Arnold mengabarkan kalau dia akan menikah. Pria itu berusia tiga puluh delapan. Sudah bercerai dua kali. Dan masih ingin membuat pesta lajang.
Red sama sekali tidak mengerti mengapa sang duda berpikir kalau dia masih lajang.
Jadi, di sinilah Red, di antara Profesor Arnold dan sang pengantin pria.
"Red! Minum?" Dia menyodorkan sebotol bir.
Red mengambil bir tanpa komentar. Satu hal yang Red pelajari, jangan menolak minuman yang ditawarkan. Lebih baik memegang bir dan tidak minum, daripada tidak memegang bir dan dipaksa minum oleh orang lain.
"Bagaimana caranya Profesor Arnold dapat membawamu kemari?"
Profesor Arnold tertawa, "Aku mengancamnya."
Yep, Profesor Arnold mengancam bahwa dia akan merekrut lima asisten wanita yang naksir Red jika Red tidak datang.
"Aku suka gayamu, Prof." Sang calon pengantin pria menepuk bahu Red. "Bersenang-senanglah, Red. Ada banyak wanita cantik di sini. Kau bisa pilih yang kau suka. Atau jika tidak," dia berbisik rendah, "yang pria juga ada." Lalu dia tertawa keras-keras.
"Thanks." Red menjawab singkat.
Sesungguhnya, seluruh orang yang mengenal Red penasaran dengan pria itu. Ada begitu banyak pria yang jauh lebih tampan darinya. Tapi para wanita cantik lebih memilihnya. Tapi tidak ada satupun wanita berhasil menaklukannya.
Pria itu bergaul dengan semua orang, tapi di saat yang bersamaan dia juga tidak menjalin hubungan keakraban dengan seseorang. Tidak ada seorang pun yang spesial di matanya.
Banyak orang berpikir bahwa Red mungkin punya kekasih, tapi kenyataan hingga saat ini tidak ada yang ada di sampingnya.
Di antara kerumunan orang dan lampu warna-warni hilang redup, sosok Red yang berdiri di sudut ruangan, terlihat begitu menyedihkan.
Tepat di tengah, di atas pentas, beberapa cewek menari dengan erotis. Tarian mereka begitu menggoda dengan gerakan pinggul yang nyaris menyatu dengan pole. Seiring dengan berkurangnya pakaian yang mereka lempar, semakin keras pula suara pria yang bergairah.
Red menatap semua itu tanpa reaksi, sekali lagi menanyai diri sendiri. Mengapa dia ada disini?
Tidak lama setelah penari wanita turun dan mulai memberikan lap dance pada sang calon pengantin pria, muncul penari pria.
Red nyaris tersedak bir.
Para penari pria jauh lebih bersemangat dari penari wanita. Mereka mengenakan seragam kemiliteran, dengan otot di sana-sini. Mereka menari dengan kompak, melepas pakaian mereka dengan begitu percaya diri.
Yang mengherankan, para penonton pria justru jauh lebih bersemangat. Mereka tidak enggan melemparkan uang ke udara, lalu bersiul genit.
Sepertinya separuh peserta pesta adalah gay tersembunyi.
Begitu para penari pria hanya mengenakan thong, Red meletakkan bir di tangan, dan keluar dari tempat itu.
Red merasa kalau kedua matanya butuh air suci. Ew.
Jika diingat-ingat, Red selalu mengalami hal yang sama tiap kali ikut pesta lajang.
Tapi kini, tiga tahun sejak bersama Vin, Red justru punya hobi baru.
Vin menoleh ke belakang, menyadari bahwa Red tidak mengikutinya. Hari ini mereka sedang kencan, bergandengan tangan seperti biasa.
Red berdiri diam, mata tertuju pada salah satu toko.
Vin melihat toko apa yang dilihat Red.
Adult Toy Store, khusus untuk kamu yang butuh sensasi lebih. Besar, kecil, panjang, pendek, licin, kesat, semua ada di sini.
Begitulah tulisan jahanam yang tertera di sana.
Di jendela pajangan, Vin melihat manekin mengenakan celana militer, bagian dada hanya mengenakan leather belt, topi militer dan tentu saja borgol di tangan.
Vin seakan menyadari bahwa hal buruk akan menimpanya.
Dia menarik Red, merah padam, lalu mendesis sebal, "Aku tidak akan memakainya!"
Red menaikan alis, sedikit bingung, lalu tidak lama tersenyum kecil, "Aku tidak bilang apapun."
Vin mendelik jengkel. Apakah dia salah paham?
"Tapi karena kau begitu penasaran, mungkin kita harus masuk?" kata Red lagi.
Wajah Vin semakin memerah, "Aku tidak penasaran!"
"Bukankah menurutmu aku akan terlihat seksi bila mengenakan itu?" Suara Red terdengar rendah, menggelitik telinga Vin.
Vin membayangkan Red menggantikan manekin. Sial. "Mu... Mungkin?"
Red memeluk Vin, "Kalau begitu, mari kita masuk dan lihat dulu. Siapa tahu ada yang kau suka."
Kali ini Vin sama sekali tidak melawan.
Ketika mereka keluar, Vin baru menyadari kebodohannya.
Vin hanya membeli seragam militer untuk Red. Tapi malam itu, Vin yang diborgol di tempat tidur, mengenakan thong, memohon dalam gairah pada Red yang bertindak semena-mena sampai keluar air mata, sepanjang malam.
Vin akan membalasnya.
***
17th March 2022
Tiba-tiba dapat ilham.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love at The First Sight
RomanceVin sudah lama jatuh hati pada pangeran sekolah, Red. Tiga tahun memendam perasaan, akankah dia mendapatkan cintanya dari pacar Red selama empat tahun, Iki? Sebelum tamat, Vin ingin Red menyadari keberadaannya, walau hanya sedetik. Dan sebuah cokela...