Dua

41.5K 4.1K 324
                                    


Dua


Red menghela napas, nyaris memijit dahinya begitu melihat coklat-coklat yang berjatuhan di depannya. Dia sudah tahu bahwa hari ini akan seperti tahun-tahun lalu, tapi kali ini lebih parah.

Iki menaikan alis melihat itu.

"Kalau kau tak mau, kau bisa bilang mereka untuk berhenti memberimu coklat."

"Aku tak bisa melakukannya. Mereka sudah membuat coklat itu."

"Mereka tak mungkin membuat coklat. Mereka membelinya." Iki memperbaiki, mengibaskan rambutnya. "Apa kau ingin aku membuang coklat itu? Teman-temanku bisa mengurusnya."

"Iki, kau tak boleh membuang makanan begitu saja."

Iki menaikan bahu, memasukan kotak-kotak itu ke dalam plastik kantungan yang sudah dia buat. Dia sudah tahu bahwa Red tak akan menolak pemberian siapapun. Tapi dia juga tak mungkin memakan coklat itu sendirian. "Kalau begitu, akan kusumbangkan coklat-coklat ini ke panti asuhan di belakang sekolah. Bagaimana menurutmu?"

Red tersenyum penuh terima kasih. "Terima kasih, Sayang. Aku akan membantumu mengangkatnya sepulang sekolah."

Cewek itu menggeleng. "Tak usah. Aku bawa sendiri saja bersama dengan yang lain. Lagipula, hari ini kau ada latihan kan? Aku tak mau kau sampai terlambat. Nanti Pak Linde semakin tak menyukaimu."

Pelatih baru, Linde, yang masuk dua bulan lalu benar-benar tak suka pada Red karena kepopulerannya. Pria itu selalu berupaya untuk membuat Red berlatih lebih keras dari yang lain meski dia tahu Red lebih tangguh.

"Maaf aku tak bisa mengantarmu pulang." Beberapa hari ini Red merasa menyesal tak bisa mengatar Iki karena dia sibuk dengan les tambahan dan kegiatan klub. Iki menggeleng lagi, tersenyum penuh pengertian. Ini yang disukai Red darinya. Mereka tak harus bertengkar hanya karena masalah sepele. "Aku akan mampir ke rumahmu sepulang sekolah, oke?"

"Oke," Iki berjinjit, memberikan kecupan ke bibir Red, lalu melambai. "Bye, Sayang."

Red menghabiskan waktunya menghadapi para fans wanitanya. Teman-temannya menggerutu dan protes padanya karena mereka tak mendapatkan coklat, tapi tak berbuat apapun. Malah, mereka dengan sengaja mencoba untuk menggoda cewek-cewek yang sengaja lewat bolak-balik di depan meja Red.

Ketika bel makan siang berbunyi, Red dipanggil oleh Kepala Sekolah yang protes dengan kegaduhan karenanya dan banyaknya sampah coklat di sana-sini sampai jam makan siang selesai dan buru-buru masuk kelas berikutnya. Untunglah, guru Sejarah tidak mempersalahkan itu dan menyuruhnya masuk agar pelajaran dapat dimulai.

Begitu bel pelajaran berakhir, Red terpaksa harus meladeni para cewek yang ingin memberikannya coklat secara langsung. Yang tentu saja menjadi alasan kenapa dia terlambat tiga puluh menit dari jadwalnya yang biasa ketika masuk klub.

Pak Linde sama sekali tak senang.

"Kau pikir karena kau ace di klub ini kau bisa berbuat sesuka hatimu? Sana keliling lapangan sepuluh kali untuk mengempiskan kepalamu itu!"

Red menggerutu ketika dia berlari keluar dari ruangan dimana para cewek-cewek protes pada Pak Linde dan mereka malah diusir keluar dan disuruh pulang atau mereka bakal dihukum.

"Ada apa sih dengan orang tua itu?" maki Red. "Aku kan tak salah. Bukan salahku kalau cewek-cewek itu nempel terus. Memangnya aku harus apa? Berbicara kasar pada mereka? Itu kan tak sopan. Kalau saja dia bisa pengertian sedikit. Sekarang, yang sombong itu siapa? Mana aku lapar lagi."

Red merasa kalau ini merupakan Valentine terburuknya. Dia berniat untuk mengajak Iki makan malam di luar, tapi Iki bilang dia ingin di rumah saja. Red bisa menduga kemana arah pembicaraan Iki karena bila Iki ingin di rumah, itu artinya orang tuanya tak ada di rumah.

Love at The First SightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang