"... kejarlah aku sampai ke Oxford..."
Empat tahun lalu, Red menantang Vin dengan kalimat itu. Terdengar jahat, apalagi dia tahu kemampuan Vin yang biasa-biasa saja. Mereka berdua sama-sama tahu kalau tantangannya pasti terdengar mustahil.
Tapi Red berharap, di sudut hatinya, bahwa Vin akan menghapus kemustahilan itu.
Selama empat tahun, Red berusaha untuk move on. Sulit sekali baginya untuk membiarkan orang lain masuk ke dalam hatinya setelah Iki.
Menggelikan sekali. Dia masih terikat pada bayangan masa lalu, tapi seiring dengan berlalunya waktu, Red sadar bahwa bayangan masa lalu yang mengikatnya bukanlah Iki, tapi Vin.
"Aku mencintaimu."
Jika Vin memang tulus mencintainya, dia akan berusaha untuk mengejar Red. Bila tidak, usaha Red menunggunya selama empat tahun akan sia-sia.
Tapi, pikir Red, Vin pantas untuk ditunggu. Itu sebabnya, meskipun dia sudah menyelesaikan S1 dan S2-nya secara berturut-turut di universitas yang sama, dia masih melamar untuk studi S3-nya juga.
Karena Red berjanji akan menunggunya.
Dia terlambat tiga bulan dari jadwal yang dia tentukan dan terlambat lagi untuk satu bulan berikutnya karena kecelakaan.
Tapi dia sama sekali tak menyangka bahwa hari ini dia dihadapkan secara langsung pada Vin, yang kini berdiri mematung di tempatnya, menatap Red seakan melihat hantu.
"Red..."
Red tersenyum kecil, melangkah dengan hati-hati menuju Vin yang masih terlalu terpaku dan mencerna apa yang terjadi.
"Bagaimana—apa yang kau lakukan di sini?" kata Vin sewaktu menyadari bahwa Red menopang sebagian tubuhnya pada tongkat siku. "Kenapa kakimu?"
"Aku tak apa-apa. Hanya kecelakaan kecil," jawabnya meski sedikit meringis.
Vin segera mengingat apa yang dikatakan Hans tadi di bawah lalu cepat-cepat membantu Red untuk duduk ke tempat tidur. Red kecelakaan. Andai saja Red meninggal waktu itu, maka Vin tak akan tahu. Dia pasti akan mengutuki Red tanpa tahu kenyataan.
Red lega karena kakinya tak lagi menahan berat tubuhnya. "Apa kabar?"
Vin menegang sedikit. Jemarinya begerak gelisah. "Aku baik-baik saja." Ini kejutan yang sama sekali tak dia duga. Jantungnya nyaris keluar dari mulutnya karena kemunculan Red yang tiba-tiba. Selama beberapa bulan terakhir dia berpikir kalau Red tak ingat. Sekarang, saat pria itu muncul, bolehkah dia berharap?
"B-bagaimana denganmu?" tanya Vin balik, kemudian meneguk ludah cepat-cepat ketika tatapannya berhadapan langsung dengan mata Red. Mata Red yang indah terlihat begitu dekat.
"Aku masih hidup," kata Red setengah bercanda, tapi Vin tak menganggap itu lucu.
Vin nyaris kehilangan cinta pertamanya karena kecelakaan. Dia tak akan menganggap itu lucu.
Mereka diliputi keheningan canggung lagi. Vin kembali bergerak gelisah sementara Red masih menatapnya. Dia tak mengatakan apa-apa, masih memasang senyuman kecil, yang justru membuat Vin semakin salah tingkah.
"Aku terkejut kalau kita bisa sekamar," kata Vin tiba-tiba. Suaranya jauh lebih tinggi daripada seharusnya, yang membuat Red terkejut sedikit. "M-m-maksudku... ini terlalu k-kebetulan?" Vin ingin sekali memukul dahinya ke dinding.
"Kau tak suka sekamar denganku? Apa aku mengganggu?"
"B-bukan begitu!" kata Vin cepat, tangan mengayun-ayun gugup. "Aku suka. Suka sekali! Ma-maksudku bukan seperti itu—aku cuma ingin bilang kalau—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Love at The First Sight
RomanceVin sudah lama jatuh hati pada pangeran sekolah, Red. Tiga tahun memendam perasaan, akankah dia mendapatkan cintanya dari pacar Red selama empat tahun, Iki? Sebelum tamat, Vin ingin Red menyadari keberadaannya, walau hanya sedetik. Dan sebuah cokela...