Kebahagiaan itu bisa diistilahkan seperti balon.
Ketika diisi dengan angin, akan terasa penuh, sampai bisa terbang tinggi. Namun, ketika sampai pada titik tertentu, akan datang tekanan itu, yang akan membuat sang balon meletus, lalu jatuh ke bumi hanya dalam bentuk karet yang tak lagi utuh, jelek dan kusut.Seperti itulah kebahagiaan yang dirasakan Vin saat ini.
"Siapa itu?" kata Jordan begitu melihat sosok Red yang ada sekitar dua puluh meter dari mereka. Akos yang mengapit Vin di sisi satunya juga ikut mengangguk penasaran.
"Apa kau mengenal wanita itu?" Akos menanyai Vin yang sama sekali tak bergerak dari tempatnya. "Vin?"
Suara Vin terdengar parau saat dia berusaha bicara, "Itu Iki, mantan Red."
Baik Akos dan Jordan sama-sama menganga. Lalu mereka berkata, "Shit." Berbarengan.
"Apa yang dilakukan mantan pacar Red di sini?" tanya Akos. "Apa dia sekolah juga di sini?"
Vin tak tahu alasannya, tapi dia sama sekali tak ingin melihat pemandangan di depannya. Iki seharusnya tak ada di sini. Iki seharusnya tidak boleh ada di sana, bersama Red, dan tertawa seolah tak terjadi apapun pada mereka.
"Jangan bilang kalau cinta kembali bersemi di antara mereka. Kau pernah bilang kalau Red hanya kencan dengan wanita it--aw, Jordan, sakit tahu!" gerutu Akos begitu Jordan menyikutnya tepat di perut.
"Baca situasi, Bodoh," gerutunya sebal.
Mereka melirik Vin yang sekarang benar-benar tampak sedih.
"Aku tadi cuma bercanda, Vin," kata Akos gelagapan. "Bagaimana kalau sekarang kau mendatangi mereka saja? Kau punya hak kan? Semua orang di kampus ini tahu kalau kau pacar Red."
Vin menatap Red dan Iki kembali. Mereka tak bisa mendengar pembicaraan mereka dari jarak sejauh ini. Namun, melihat cara pandang Iki pada Red, Vin tahu bahwa apapun yang akan mereka bicarakan akan mengubah segalanya.
Vin tak ingin Red meninggalkannya.
Kekhawatiran itu seakan melahapnya hidup-hidup sekarang.
***
Vin sama sekali tak bisa tidur. Pertama, karena dia masih memikirkan kemunculan Iki yang tiba-tiba di Oxford. Kedua, karena sampai saat ini Red belum kembali. Pikiran-pikiran buruk sudah masuk ke otaknya seperti racun. Mengerikan sekaligus membunuh.Dia tak ingin terlihat seperti seseorang yang ingin mengekang Red. Dia ingin percaya pada Red. Tapi, bagaimana caranya dia bisa melakukannya, bila dia sendiri tidak percaya pada dirinya dan pada apa yang mereka miliki selama ini?
Ingin sekali Vin mengutuki dirinya sendiri karena tidak bisa menekan Red untuk menanyakan pada pria itu arti keberadaannya. Apakah dia bisa percaya pada Red? Apakah dia akan terbangun dari mimpi yang memabukan ini? Pada kenyataan pahit bahwa Red akan meninggalkannya?
"Vin."
Suara Red membuat Vin refleks membuka mata. Red tengah menatapnya dengan cemas, berlutut di hadapannya sambil memegang kedua tangannya.
Vin sama sekali tak mendengar Red yang masuk ke dalam kamar mereka. Sejak kapan Red ada di sini?
"Vin, kenapa kau menangis?" kata Red, menghapus air matanya yang sama sekali tak disangka sudah mengalir deras. "Ada yang menyakitimu? Atau kau memiliki masalah? Katakan padaku supaya aku bisa tahu, Vin."
Vin menggeleng. "Ini--" dia tersedak, lalu tanpa diduga, dia kembali menangis. Red mengerutkan dahi, keheranan sekaligus terkejut. Tapi dia tak menanyakan, juga tidak mendesak Vin untuk bicara karena pria itu hanya memeluknya erat-erat di dada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love at The First Sight
RomanceVin sudah lama jatuh hati pada pangeran sekolah, Red. Tiga tahun memendam perasaan, akankah dia mendapatkan cintanya dari pacar Red selama empat tahun, Iki? Sebelum tamat, Vin ingin Red menyadari keberadaannya, walau hanya sedetik. Dan sebuah cokela...