Tiga Belas (End)

67K 3.9K 463
                                    


Red terbangun dengan rasa hangat yang menyelimutinya. Kulit yang menyentuhnya terasa amat lembut yang nyaman dan bau citrus lemah dari aroma shampoo Vin menggelitiknya. Sapuan perlahan di dekat lehernya menyatakan bahwa Vin masih tidur.

Tersenyum kecil, Red mengecup kepala Vin perlahan. Tangannya mengelus lembut pada punggung Vin yang telanjang nyaris mengenai pantatnya kemudian naik lagi ke punggungnya. Kepala Vin bergerak perlahan, kepalanya mengambil posisi nyaman di dadanya, sebelum akhirnya kembali tidur.

Matanya melirik jam di atas meja, nyaris pukul dua siang. Aktifitas mereka kemarin berakhir sampai—well, sampai Red tak ingat waktu sebelum akhirnya mereka tidur karena kelelahan.

Red sama sekali tak punya pengalaman sex yang banyak, hanya dengan Iki. Tapi apa yang terjadi kemarin amat luar biasa. Baru kali itu dia tak bisa mengontrol dirinya sendiri. Apakah karena dia selama ini menahan diri? Sehingga semuanya jadi kelepasan?

Apapun itu, Red sama sekali tak menyesalinya.

"Mnn... Red..." gumam Vin dalam mimpinya.

"Ya, Vin?"

Tidak ada jawaban dari Vin, jadi Red yakin kalau dia masih tertidur. Red tahu kalau Vin memang sering mengigau dalam mimpi. Namanya sering kali disebut Vin. Jujur saja, dia merasa bahagia. Itu artinya, bahkan dalam mimpi pun dia masih ada untuk Vin.

Red menghabiskan waktunya dengan berpelukan pada Vin, memandang wajahnya dengan penuh cinta. Dia seakan terhipnotis dengan wajah Vin dan tak akan pernah bosan dengan ekspresi di sana, meski saat ini dia hanya memandang wajah tidurnya saja.

Tidak berapa lama, karena Red lupa waktu, kelopak mata Vin mulai bergerak-gerak dan perlahan-lahan, dia membuka matanya.

"Selamat siang," sapa Red.

Wajah Vin merona dan dia tak berani menatap Red. "Siang," bisiknya perlahan, jemari bergerak di dada Red.

Red tertawa kecil. "Kau lapar?"

Perut Vin menjawab pertanyaannya dan Red kali ini tertawa keras-keras. Dadanya berguncang dengan tawa dan Vin mengerang jengkel. "Jangan tertawa!"

"Aku tak ingin bergerak dari tempat tidur saat ini." Red mengecup kepalanya. "Kita pesan pizza saja ya?"

Kemudian Vin ingat, "Aku sudah mempersiapkan makan malam kemarin. Aku akan memanaskan saja kalau begitu." Dia duduk dengan cepat kemudian mengerang begitu merasakan nyeri pada pinggangnya. Wajahnya merona kembali begitu sadar bahwa ada nyeri di beberapa bagian yang seharusnya tak pernah sakit.

"Kenapa, Sayang? Tak bisa bergerak?" Red terlihat tidak menyesal sama sekali, yang ada dia malah terlihat bangga.

Vin menggigit bibir kemudian dia memukul Red dengan bantal. "Ini semua karena kau! Kau sama sekali tak bisa menahan dirimu."

Red tertawa di antara pukulan bantal Vin. "Aku tak mendengarmu protes kemarin," katanya, mengambil bantal Vin dan menahannya. "Siapa yang kemarin minta tambah?" godanya.

Wajah Vin benar-benar merona seluruhnya. Pria itu menutup wajahnya, mengerang sebal. Beberapa jam lalu benar-benar luar biasa, sesuatu yang tak akan pernah dilupakan oleh Vin. Tubuhnya seakan mengambil alih saat Red menyentuhnya, membuatnya gila dan tak bisa berpikir.

Dia yang beberapa jam lalu begitu mabuk dengan sentuhan Red saat ini merasa malu dengan godaan Red. Dia seakan melihat Red dalam sudut yang berbeda: liar, menggoda, sexy...

"Aku tak mau bicara padamu!" Vin cemberut, menarik selimut dan bantalnya kemudian berbaring membelakangi Red.

Red tertawa kecil. "Bukan seperti ini caranya aku menghabiskan waktu liburku yang berharga denganmu, Sayang." Tangannya memeluk Vin dan bibirnya mengecup bahu telanjang Vin.

Love at The First SightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang