Delapan

42.2K 3.6K 446
                                    

Red mengerjap beberapa kali seakan dia ingin mencerna perkataan Vin. Vin sudah ingin sekali melemparkan dirinya ke luar jendela--andai saja jendelanya tidak kecil dan muat untuknya--sampai Red tertawa.

"Kau bisa ke hatiku nanti, setelah kita kencan terlebih dahulu."

Wajah Vin semakin merah padam. Dia sampai harus menunduk hanya untuk menyembunyikan wajahnya yang merah padam. Jeez, ucapan Red seakan memberinya petunjuk bahwa mereka akan memiliki kesempatan.

"Jadi, kau ingin pergi ke mana?" tanya Red lagi.

Vin gelagapan. "T-terserahmu saja." Itu memang benar, karena dia sama sekali tak keberatan di bawa Red ke manapun. Bahkan bantaran kali yang banyak sampahnya pun akan jadi tempat paling indah asal bersama Red.

"Kalau begitu, bagaimana kalau kita pergi nonton besok?"

Vin sama sekali tak menolak dan langsung mengiyakan. "Oke."

***

"Ada angin apa tiba-tiba kau mengajakku bolos padahal kau mahasiswa paling rajin yang pernah kutemui," komentar Jordan keesokan harinya saat Vin menariknya untuk belanja membeli baju, persis seperti ibu-ibu yang ingin shopping.

"Red mengajakku kencan hari ini," kata Vin.

"Oh? Kalian sudah mencapai tahap itu? Hebat juga, perjuanganmu selama ini akhirnya membawa hasil," Jordan tertawa-tawa sambil menepuk bahunya, kemudian terdiam dalam dua detik. "Lalu, kenapa aku harus ikut campur ke masalah gaymu? Aku kan bukan gay." Dia juga bukan cewek fujoshi yang suka pada gay.

"Jordan, please please please please, bantu aku memilihkan baju yang bagus."

"Kau kan sekamar dengannya. Tanyakan saja padanya kau bagusnya pakai baju apa."

"Kau gila? Mana mungkin aku tanya padanya."

"Kau yang gila. Kalian sekamar kan? Jadi beli baju baru pun percuma karena dia akan melihatmu juga dan tak akan terkejut."

"Tapi, aku kan tak mungkin menunjukan padanya kalau aku terlalu berbahagia hanya karena kencan ini. Aku kan harus menunjukan bahwa aku tak terlihat seperti orang gila yang begitu ingin pacaran dengannya."

"Masalah gay benar-benar masalah yang serius," Jordan geleng-geleng kepala. Sama sekali tak mengerti kenapa dia malah terjerat ke dalam masalah mereka. "Aku hanya akan memilihkan satu baju dan kita hanya butuh satu jam saja, oke?" Dan saat Vin mengangguk semangat, dia menggerutu. "Kenapa kemarin aku bertanya padanya ya?"

Dan Jordan harus menelan penyesalannya, karena mereka malah menghabiskan waktu seharian untuk belanja. Bukan satu jam seperti yang ditargetkan. Karena, Vin memiliki begitu banyak barang yang ingin dibeli. Awalnya dia hanya ingin beli baju, kemudian dia ingat bahwa sepatunya sudah lama, lalu ada keluhan kalau kaos kakinya sudah bau, dan selanjutnya dan selanjutnya... pusing.

Jordan tak akan mau lagi belanja dengan cowok gay. Sumpah. 

***

Red memutuskan untuk menunggu Vin di luar kamar saja karena dia tahu kalau cowok itu membutuhkan waktu untuk mempersiapkan dirinya. Tadi dia sempat melihat tas belanjaan sebelum keluar dari kamar--dan tepat saat itu, Vin ada di kamar mandi--yang dia duga pastilah milik Vin.

"Hei, Red," sapa Hans. Di tangannya ada buku-buku tebal. "Sedang apa?"

"Menunggu Vin," jawabnya. "Kami mau kencan."

Hans menaikan alis, kemudian tersenyum kecil. Siapa yang menyangka kalau Red gay. Andai para pria gay tahu, pasti banyak yang akan mengejarnya. "Kalian mau ke mana?"

Love at The First SightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang