Dalam kasusku, entah kenapa sering kali harapan tak seindah kenyataan. Bayangkan saja, aku yang awalnya berharap dapat menikmati sebagai pasangan pura-pura Pak Reynaldi harus berakhir sendirian dalam pesta ini.
Aku tidak dapat mencegah ketika Tuan Subagja menyuruh Pak Reynaldi untuk pindah ke mejanya. Terlihat jelas Tuan Subagja menjauhkan putranya dariku. Padahal jelas-jelas Pak Reynaldi yang memintaku untuk menemaninya, bukan malah aku yang memaksa untuk dibawa ikut serta. Tapi, ya sudahlah, mau dijelaskan bagaimana pun Tuan Subagja sudah lebih dulu antipati kepadaku.
Alhasil, tinggallah aku sendirian di meja ini bersama dengan orang-orang yang tidak kukenal. Rasanya sungguh tidak nyaman Jenderal!
Beberapa makanan yang kumakan terasa hambar di lidahku. Begitu juga dengan hiburan yang disajikan oleh artis terkenal, semuanya terasa membosankan bagiku. Saat ini yang kubutuhkan hanyalah dapat pulang ke rumah untuk istirahat. Rasanya tulang belakangku sudah pegal karena duduk terlalu tegak bergaya ala-ala bangsawan di tv-tv itu.
Inilah yang dinamakan gaya berujung cilaka, hehehe...
Setelah menunggu tiga jam, akhirnya aku dapat bernafas lega ketika Pak Reynaldi mengajakku pulang. Sedikitpun duda tampan itu tidak menunjukkan rasa bersalahnya karena sudah mengabaikanku selama pesta.
Ah, beginilah nasib jadi kacung. Isi hati kita tidak terlalu dipedulikan, hiks...
Sepanjang perjalanan menuju rumah, aku memilih untuk diam. Beberapa pertanyaan yang diajukan Pak Reynaldi kujawab singkat namun tetap masih dalam batas sopan. Begini-begini aku masih tahu posisiku. Jadi, jangan sampai aku kelewat batas. Untungnya dering ponsel Pak Reynaldi menyelamatkanku, sehingga aku bisa terbebas dari pertanyaannya hingga kami tiba di rumah.
Sebelum aku masuk ke dalam kamar, Pak Reynaldi menahanku sebentar. "Man, makasih ya sudah menemaniku malam ini." ucapnya dengan senyum tulus.
Seketika itu juga hatiku langsung lumer bak karamel. Hilang sudah kekesalanku tadi. Entah kenapa aku pantang dibaikin sama si duda tampan satu ini?
"Sama-sama, Pak." balasku sambil menganggukkan kepala."Kalau gitu, selamat tidur Man. Semoga mimpi indah," candanya geli. Membuatku langsung memutar bola mataku malas. Emangnya ia pikir aku anak kecil?
Seusiaku sekarang udah gak zaman lagi mimpi indah, yang ada malah mimpi basah. Basah bersama Pak Reynaldi maksudnya, hihihi...
"Selamat tidur juga,Pak," pamitku, sebelum benar-benar meninggalkannya. Sesampainya di dalam kamar, aku segera memutuskan untuk mandi agar membuat tidurku nyaman sehingga besok dapat bangun dalam keadaan lebih segar lagi.
***
Paginya, aku nyaris terlambat bangun. Meskipun akhir pekan, bukan berarti aku bisa bermalas-malasan di tempat tidur. Pak Reynaldi dan si kembar tidak pernah bisa membiarkanku menikmati akhir pekan yang tenang selama belasan tahun ini.
"Tante Manda, buka dong pintunya!" Belum lagi aku siap mandi, rengekan Sheyna sudah terdengar dari luar kamar.
"Iya, bentar sayang!" Aku jadi ikut-ikutan teriak menjawabnya. Gimana gak teriak, soalnya saat ini aku sedang membilas rambutku biar bersih.
"Masih lama enggak?!" Sheyna bertanya dengan tidak sabar.
"Bentar lagi. Kamu nonton aja dulu sana!"
"Tan, kami mau joging sama papa, ikut enggak?"
Tumben? Biasanya kalau akhir pekan gini mau mana mau si kembar nemenin papanya joging. Ada angin apa mereka?
Mendengar tak ada jawaban dariku membuat Sheyna kembali memanggilku. "Tan, ikut enggak?!"
"Enggak! Kalian aja yang pergi!" Teriakku tak kalah kencang. Soalnya aku sudah mandi, malas kalau berkeringat lagi.p,
Setelah mengatakan itu aku tidak mendengar lagi suara rengekan Sheyna. Sepertinya remaja cantik itu sudah pergi dari depan pintu kamarku. Syukurlah kalau begitu. Soalnya aku sedang tidak minat untuk pergi jogging bersama mereka. Tamu bulananku lagi datang sehingga membuat tubuhku sedikit tidak enak.
Tak ingin berlama-lama di kamar mandi aku segera membasuh tubuhku dengan cepat, kemudian bergegas memakai baju yang nyaman untuk dikenakan seharian ini.
Keluar dari dalam kamar aku bergegas menuju dapur untuk memastikan para pelayan telah menyiapkan makanan untuk sarapan.
"Sarapannya udah siap, Bi?" tanyaku kepada Bi Ratih, salah satu pelayan senior di rumah ini.
"Sudah Bu." Melihat kedatanganku wanita paruh baya itu langsung menunduk hormat. Meskipun posisi kami sama-sama pekerja di rumah ini, namun mereka memperlakukanku seperti atasannya. " Apa mau disajikan sekarang?" tambahnya lagi.
Aku tersenyum mengiyakan. Karena kutebak ketiganya pasti langsung kelaparan pulang dari joging nanti. Apalagi Pak Reynaldi.
"Tolong sekalian siapkan jus nya ya, Bi.
Gak usah pakai gula, Pak Reynaldi gak suka yang manis." Pintaku menambahi. Kalau dipikir-pikir nyaris semua kebiasaan duda tampan itu sudah kuhapal mati."Baik, Bu."
Tak ingin mengganggu pekerjaan Bi Ratih, aku segera keluar dari dapur meninggalkannya. Sambil menunggu kepulangan Pak Reynaldi dan si kembar aku memutuskan untuk menonton televisi yang menayangkan sebuah drama keluarga yang isinya tentang perselingkuhan. Awalnya aku bermaksud melihat sekilas saja, namun tak disangka aku malah larut dalam ceritanya hingga tak mendengar kepulangan mereka.
"Man, serius banget nontonnya," Suara Pak Reynaldi yang tiba-tiba duduk di sampingku membuatku kaget.
"Udah pulang Pak? Mana anak-anak?" Tanyaku beruntun sambil mataku mencari-cari keberadaan si kembar.
"Mereka langsung mandi. Gerah katanya."
"Oh...," jawabku mengerti. "Bapak kenapa gak mandi?" tanjutku lagi tapi mataku tak lepas dari televisi. Soalnya sedang seru-serunya.
Pak Reynaldi menggelengkan kepalanya sambil tubuhnya mencari posisi yang nyaman di sampingku. "Lapar, Man..." keluhnya, memecahkan konsentrasiku. Kalau sudah mengeluh seperti itu mau tak mau aku harus menghentikan kegiatan menontonku. Padahal sumpah mati aku penasaran akan akhir kisah nasib suami yang dzolim dalam serial itu. Tapi keluhan sang paduka Reynaldi tidak bisa diabaikan begitu saja.
Akhirnya dengan terpaksa aku harus merelakan kesenanganku demi melayani Pak Reynaldi.
"Gak nonton lagi, Man?" Pak Reynaldi bertanya saat melihatku sudah bangkit berdiri.
Aku menggelengkan kepala. "Mau nyiapkan makanan untuk si kembar, Pak,"
"Kamu itu si kembar aja yang diperhatikan. Saya dari tadi ngeluh lapar, kamu diam saja."
Seperti biasa, Pak Reynaldi selalu merasa bahwa aku sering pilih kasih terhadap dirinya. Ada kalanya si duda tampan ini merajuk tidak pada tempatnya. Kalau sudah begini terpaksa aku yang harus gantian membujuknya.
"Bapak yang tetap terutama." Aku gak bohong mengatakan itu. "...kan, bapak yang gaji aku," ucapku sambil tersenyum manis.
"Gak tulus kamu menyayangi saya," cibir Pak Reynaldi masih dengan wajah cemberut.
"Tulus kok Pak. Gak ada yang mencintai bapak melebihi aku." Ucapku membela diri dengan nada bercanda. Memang benar kok, wanita mana yang tahan mengabdi selama belasan tahun terhadap pria yang dicintainya kecuali aku si wanita bodoh ini.
Biasanya Pak Reynaldi akan membalas candaanku barusan dengan candaannya juga, namun entah kenapa kali ini ia menjawabku dengan nada serius. "Harus itu. Cinta kamu memang milik saya." Bahkan tatapannya mengunciku dengan dalam. Membuatku menjadi salah tingkah. Aduh, aku harus bagaimana ini? Ada apa dengan Pak Reynaldi pagi ini?
"Tante, sarapan yuk,"
Kedatangan Sheyna di antara kami membuatku dapat bernafas lega. Otomatis tatapan Pak Reynaldi menjadi teralihkan dariku. Tak menyia-nyiakan kesempatan aku langsung menarik Sheyna menuju ruang makan dengan diikuti Pak Reynaldi di belakangku. Namun diam-diam dalam hati aku berharap semoga saja pembicaraan tadi beneran menjadi kenyataan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pemain Figuran
RandomSelamanya status Amanda hanyalah seorang pemain figuran dalam cerita hidup Reynaldi. Tidak lebih. Membantu duda tampan itu membesarkan kedua anaknya selama belasan tahun, tidak membuat hati Reynaldi tersentuh dengan ketulusan hati Amanda Sampai kapa...