15

28.8K 2.9K 178
                                    

Habis dari tempat karaoke, Tuti masih mengajakku untuk kulineran tengah malam. Ia mengeluh lapar karena menceramahiku. Katanya bicara kepadaku tanpa cakar-cakaran sangat menguras energinya.

Benar-benar minta disiram ini orang!

Ternyata jalan-jalan malam tidak buruk juga. Aku yang selama ini selalu terkungkung dengan kegiatan harian yang itu-itu saja beberapa kali kedapatan seperti orang udik karena terkejut dengan apa yang kulihat saat ini.

Tuti yang cantik dan modis mengajakku makan di warung makan pinggir jalan. Awalnya aku menolak pilihannya. Bagaimana bisa kami berdua perempuan makan duduk di lesehan, dengan dikelilingi banyak laki-laki. Membayangkannya saja membuatku takut dan risih.

"Gak mau, Ti. Aku pakai gaun, gimana duduknya nanti." Aku bersikeras menolak ajakan Tuti untuk turun dari mobil.

"Enggak papa. Siapa juga yang mau lihatin kamu. Semua yang disitu pada asyik menikmati makanannya. Kujamin deh kamu gak bakalan nyesal." Tuti mencoba membujukku.

Tapi aku masih ragu. Hati orang kan siapa yang tahu?

"Udah, ayo turun. Keburu lapar aku," tanpa mempedulikanku, Tuti langsung turun dari mobil.

Mau tak mau, dengan murung aku terpaksa menurutinya. Semoga saja nanti tidak terjadi apa-apa.

Tapi ternyata dugaanku salah. Ketika kami memasuki warung tenda tersebut, aku melihat tidak ada yang menatap kami. Semuanya pada fokus dengan makanannya masing-masing.

Sedikit canggung, aku duduk di lesehan. Mataku berkeliling mengamati sekitar. Sedangkan Tuti sibuk memesan makanan untuk kami berdua. Kali ini kubiarkan ia memilih sesuai seleranya. Karena aku sama sekali tidak tahu apa-apa.

Setelah pelayan yang mencatat pesanan kami pergi, Tuti beralih menatapku. "Santai aja, Man. Aman kok di sini tempatnya."

Aku mengangguk sambil tersenyum tipis. Kurasa Tuti benar, sampai saat ini belum ada kejadian buruk terjadi. Bahkan sekarang aku sudah merasa lebih santai.

Angin malam membuatku sedikit kedinginan. Tapi karena ramainya orang membuat fokusku sedikit teralihkan karena sibuk melihat orang-orang semua. Ada suara tawa, suara wajan penggorengan, kendaraan yang lalu lintas, serta suara pengamen yang bernyanyi membuatku merasa seperti berada di dunia yang baru. Tanpa sadar diam-diam aku menikmatinya. Selama ini yang kurasakan hanya sekitaran dunia Pak Reynaldi yang semuanya serba jetset. Padahal dengan cara sederhana juga bisa menimbulkan bahagia. Contohnya seperti yang kualami saat ini.

Aku awalnya sedikit ragu saat menyantap ayam penyet yang dipesan Tuti. Bayangkan saja, bagaimana caranya memakan ayam goreng yang dibaluri dengan cabai rawit merah ke sekelilingnya. Seumur-umur baru kali ini aku mencoba makanan seperti ini. Dimana yang terlihat lebih banyak sambalnya dibandingkan ayamnya. Mana lagi Tuti memesan minumannya teh manis hangat, apa gak bunuh diri itu namanya. Masa makan pedas, minum air panas? Yang ada bisa terbakar lidahku. Jangan-jangan dia memang berniat membunuhku!

"Tuti, ini gimana makannya?" Aku menatap Tuti dengan bingung. Beda dengan dirinya yang sudah lahap menyantap makanannya.

Tuti mengehentikan kunyahannya lalu menatapku aneh. Ya gak gimana-gimana. Tinggal suap itu nasi lalu masukkan ke mulutmu. Itu aja kok masih diajari," tuturnya ketus.

"Cabenya banyak banget," ucapku memelas.

"Sisihkan aja. Terus makan nasinya," Tuti mengajariku seolah aku anak kecil.

Kalah malu, terpaksa aku memakannya. Awalnya hanya sedikit nasi dan satu suwir ayam.

Hmm...ternyata rasanya tidak buruk.

Pemain FiguranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang