Satu-satunya yang paling kusesali dari kepergianku kali ini adalah aku sama sekali tidak menguasai bahasa asli negara yang kudatangi. Yaitu Kanada, tepatnya di daerah Quebec.
Ternyata kisah kaburku ini tidak seindah yang di novel-novel. Buktinya untuk membeli makanan saja aku harus menggunakan goggle translete agar dapat bicara. Jangan tanya lagi bagaimana kacaunya logatku ketika mengucapkan sesuatu. Padahal kalau di novel-novel kerumitan seperti ini tidak pernah dituliskan. Penulis hanya menceritakan setelah pemeran utamanya kabur ke luar negeri maka dia akan mendapatkan kemudahan di sana. Selain mendapatkan wajah yang semakin cantik, tokoh utama wanita juga semakin sukses dan kaya. Jangan lupakan ditambah bonus seorang pria milyuner yang mencintainya sepenuh hati dan juga siap menjadi tameng untuknya.
Pret lah! Kenyataannya apanya yang sukses, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari aja aku sedikit kesulitan. Begitu juga dengan perubahan penampilan, boro-boro semakin cantik, kenyataannya pergantian cuaca membuat kulit wajahku mengering hingga menimbulkan kulit pecah-pecah. Otomatis membuat wajahku semakin kusam. Sehingga hilanglah kesempatanku untuk bertemu dengan sang taipan berwajah dingin di negeri daun mapple ini.
Kalau sudah begini, aku hanya bisa mengumpati Pak Reynaldi dan Pak Subagja dalam hati. Kalau bukan karena perbuatan mereka yang menyinggung harga diriku, aku pasti tidak akan mengalami kejadian yang mengerikan ini. Besok-besok kalau ada acara kabur-kaburan terulang lagi, ingatkan aku untuk kabur ke Indonesia saja. Ternyata negeriku jauh lebih indah.
Kepada Tuti kuceritakan semua keluhanku ini. Kukatakan semua bagaimana sulitnya aku beradaptasi dengan lingkunganku. Bayangkan saja belum ada sebulan aku tinggal di sini berat badanku telah menyusut hingga tiga kilo. Padahal ketika di Indonesia aku harus ekstra keras untuk menjaga berat badanku agar tidak naik. Ini sungguh-sungguh tidak adil.
Entah Tuti iba kepadaku, atau dia takut aku mati di negeri orang, lebih tepatnya lagi di apartemen milik suaminya, tanpa kusangka-sangka si wanita medusa itu nekad datang menyusulku ke Quebec.
"Malu-maluin saja kamu, Man." Omelnya pertama kali begitu ia tiba di apartemen. "Inilah kalau kebanyakan makan tempe selama ini, mentalnya juga ikutan jadi mental tempe!"
Aku menatapnya tajam tidak setuju dengan perkataannya. Ngapain juga dia bawa-bawa nama makanan kesukaanku itu?
"Ini bukan masalah makanan saja Tuti, tapi lebih tepatnya shock culture. Masa gitu aja kamu gak ngerti?" balasku sewot tak terima dikatai mental tempr.
Tuti memutar bola matanya malas. "Makanya Man, kalau kabur itu lihat-lihat negaranya. Kalaupun ke luar negeri mending cari yang serumpun dengan Indonesia. Contohnya Malaysia, jadi kamu gak kaget gitu kena shock culture."
Aku terdiam setuju dengan perkataannya. Tapi seandainya aku kabur ke Malaysia pada saat itu, takutnya nanti disangka jadi TKW. Mau taruh dimana nanti wajahku di depan mereka? Apalagi di depan Arini, bisa besar kepala nanti si wanita polos itu.
"Kalau gak, kamu balik saja bersamaku. Indonesia kan luas, belum tentu mereka dapat menemukanmu."
Dengan cepat aku langsung menggelengkan kepalaku. "Lebih baik di sini."
"Tapi kalau kamunya gak betah gini, ngapin juga dipaksain?"
"Betah kok," bantahku cepat. Mungkin karena masih baru saja. Nanti lama-lama terbiasa juga."
"Tapi buktinya itu wajah kamu sudah tambah kuyu. Itu artinya kamu tidak bahagia."
"Ngarang kamu!"
"Atau jangan-jangan kamu merindukan pria itu ya?" godanya sambil menaikkan alisnya.
"Apaan sih?!" dengusku kesal.
"Tidak ingin tahu bagaimana kabarnya sekarang?" Tuti dengan sangat kurang ajarnya terus memberondongku dengan pertanyaan yang tidak bermutu.
"Gak penting banget!" Jawabku ketus, sengaja agar Tuti tidak memperpanjang lagi. Tega banget dia membuat usahaku melupakan si duda tampan itu jadi sia-sia.
"Tapi ada gosip hot loh dari mereka, yakin gak mau tahu?" Tuti masih betah merayuku agar aku goyah.
"Terserah mereka mau bagaimana. Aku sudah memilih tutup buku terhadap mereka," ucapku tegas.
"Meskipun itu berhubungan dengan anak-anak pria itu?"
Kampret benar memang si Tuti ini. Kenapa juga harus bawa nama si kembar. Aku kan jadi sedih. Apalagi bila mengingat Aaron.
"Kangen sih, tapi bukan berarti aku mau bertemu lagi dengan mereka," ujarku jujur. "Lagipula kuyakin seiring berjalannya waktu rasa kangen itu pasti memudar," lanjutku sedih.
Mendengar hal itu akhirnya Tuti memilih tidak mengatakan apapun lagi mengenai Pak Reynaldi.
Tapi selanjutnya ia berbaik hati memutuskan untuk tinggal menemaniku. Seminggu lamanya ia mengajariku mengenalkan lingkungan yang kutempati sekarang. Bersamanya aku mulai mengetahui tempat-tempat baru. Tuti mengenalkanku kepada para warga Indonesia yang berada di sini. Dari mereka aku baru tahu ternyata Tuti sempat tinggal di sini beberapa tahun saat menemani suaminya kuliah kota ini.
Kebetulan tidak jauh dari apartemenku kami menemukan seorang pasangan suami-istri muda berasal dari Indonesia yang membuka sebuah toserba.
Sang istri bernama Laura, sedangkan suaminya bernama Arman. Keduanya sangat ramah dan baik kepada kami berdua. Namun yang buat kami hilang fokus adalah wajah suaminya yang berhasil memikat hati pada pandangan pertama. Dengan jujur harus kuakui wajahnya sungguh sangat tampan. Ibarat kata anak muda sekarang, dia adalah blasteran bumi-surga. Alias tak ada duanya.
Sayang sekali dia sudah ada yang memiliki.
Setelah seminggu lamanya Tuti menemaniku, akhirnya saudara tiriku itu harus pulang kembali ke Indonesia.
Tak dapat kupungkiri ada perasaan sedih saat harus berpisah dengannya. Tapi Tuti berjanji akan datang menemuiku lagi nanti di akhir tahun sambil membawa anak-anaknya liburan.
Setelah kepulangan Tuti, kehidupanku di Quebec sudah jauh lebih baik. Perlahan tapi pasti aku mulai bisa membiasakan diriku beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Sedikit-sedikit aku mulai bisa mempelajari bahasa perancis. Kini bahasa yang kugunakan sudah tidak sebatas ucapan terima kasih lagi.
Bersama beberapa warga Indonesia aku mulai mengikuti kegiatan yang bermanfaat. Salah satunya adalah aku ikut komunitas fotografi. Alam Kanada yang masih indah terjaga sangat mendukung kegiatan tersebut.
Di komunitas itu juga aku berkenalan dengan beberapa orang lainnya. Baik itu warga lokal maupun warga Indonesia.
Di antara semuanya, aku paling dekat dengan seorang pria bernama Alex. Dia adalah seorang warga negara Indonesia yang sedang kuliah mengambil program doktoral di Universitè de Montrèal.
Banyaknya kesamaan di antara kami membuat kami merasa cocok satu sama lain. Alex adalah orang yang seru diajak bicara.Tidak seperti Pak Reynaldi yang lebih sering diam mendengarkanku.
Ada saja topik yang bisa kami bahas, mulai dari hal yang remeh hingga yang serius sampai menjurus berbau politik. Semuanya kami bahas dengan asyik. Beberapa kali juga kami pergi bareng meskipun hanya sekedar kulineran atau mengunjungi beberapa lokasi wisata untuk mengambil spot foto yang keren.
Ketika Alex sedang mencari tempat tinggal baru, aku langsung menawarkannya untuk tinggal di sebelahku. Kebetulan apartemen itu baru saja kosong ditinggalkan penghuni lamanya karena pindah ke luar kota.
Alex bukanlah orang yang ribet. Pria berdarah campuran Manado-Jawa-Belanda itu segera menyetujui tawaranku. Alhasil kini ia resmi mejadi tetangga sebelahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pemain Figuran
RandomSelamanya status Amanda hanyalah seorang pemain figuran dalam cerita hidup Reynaldi. Tidak lebih. Membantu duda tampan itu membesarkan kedua anaknya selama belasan tahun, tidak membuat hati Reynaldi tersentuh dengan ketulusan hati Amanda Sampai kapa...