"Makanya Man, jadi orang jangan jadi bego-bego amat. Lihat sendiri kan akibatnya kamu diusir dengan tidak hormat."
Aku melirik sinis mendengar ocehen Tuti. Ini orang gak ngaca apa kata-katanya barusan. Lupa mungkin dia kalau ia dan ibunya juga pernah mengusirku dari rumah ayah kandungku. Memang begitulah sifat manusia kebanyakan, debu di mata orang lain nampak, tapi gajah di pelupuk mata sendiri tidak kelihatan.
"Coba kamu turutin kata-kataku dulu, tentu saja kamu tidak mengalami penghinaan seperti ini," ujar Tuti berapi-api. "Ini tunggu dihina dulu baru itu kepala bisa sadar."
Setan benar ini orang! Dikiranya gak susah apa ninggalin orang yang telah mengambil hati kita bertahun-tahun. Aku sama Pak Reynaldi dan anak-anak itu udah tujuh belas tahun loh hidup bersama. Wajar saja kalau aku sulit meninggalkan mereka. Selama belasan tahun ini terlalu banyak peristiwa manis yang kualami bersama mereka. Jadi tidak mungkin hanya karena kehadiran Arini selama beberapa bulan terakhir ini dapat dapat membuatku membenci mereka semua. Lagipula apa yang menimpaku saat ini, tidak sepenuhnya salah Pak Reynaldi.
"Tut, aku nemuin kamu itu untuk cari solusi bukan malah jadi diomelin. Niat gak kamu bantuin aku?" malas juga aku terus dengar ocehannya yang terus menyalahkanku. Ini kepala udah mumet kok malah ditambahi masalah baru. Kalau tahu begini jadinya mending tadi aku tidak mengajak Tuti untuk ketemuan di kafe.
"Niat dong! Kalau gak ngapain aku bela-belain nemuin kamu di siang terik ini." Tuti tampak protes dengan tuduhanku.
"Ya sudah, kalau gitu bantu dong cari jalan keluarnya. Ini orang lagi sakit hati maunya di hibur, bukan malah diomeli," sewotku dengan nada kesal.
"Ini juga lagi mau bantuin kamu. Kamunya aja yang bandel dibilangi," gerutu Tuti dengan wajah cemberut.
Kapan coba aku bandel kepadanya saudara-saudara? Bukannya dari tadi aku sudah duduk tenang menunggu solusi darinya, tapi dia sendiri malah mengoceh tidak jelas. Giliran dikerasi dikit, langsung terus mencak-mencak. Memang susah rasanya untuk membuat kami bisa damai.
Kayaknya jurus cakar-cakaran dan hina-menghina sudah takdir kami berdua."Aku itu nemuin kamu ke sini mau nagih janji kamu untuk bantuin aku keluar dari rumah itu."
"Tapi bukannya itu si kakek tua udah menyediakan tempat untuk kamu. Terus apa lagi yang kamu butuhkan dariku?"
"Memang benar Pak Subagja telah menyediakan tempat bagiku, tapi bukan itu rencanaku sebenarnya."
Tuti memandangku aneh. "Kamu menolaknya?" ujarnya tak percaya.
Aku menggeleng pelan. "Di depannya aku memang menerima pemberiannya. Hanya saja aku tidak ingin menuruti kemauannya. Kali ini biarkan aku yang mengatur hidupku. Karena itu aku datang menemuimu untuk meminta bantuan kepadamu"
Melihat tida ada raut bercanda di wajahku, membuat Tuti mengubah ekspresinya menjadi serius. "Katakan, apa yang bisa kulakukan untukmu?"
Sejujurnya pernyataan inilah yang kutunggu dari tadi. "Tuti, aku ingin...." aku sengaja membisikkan rencanaku kepadanya.
Setelah mengatakan maksudku, kulihat mata Tuti terbelalak ngeri melihatku.
"Kamu gila! Tidak mungkin aku dapat melakukan itu."
Aku menatapnya santai. "Itu tidak sulit untuk dilakukan oleh orang kaya sepertimu. Tugasmu hanya melicinkan jalanku saja."
"Tapi itu terlalu cepat, Manda!" Tuti menatapku frustasi.
Aku mengedikkan bahuku pelan. "Itu urusanmu. Aku tidak mau tahu bagaimana caranya."
"Kamu sama saja seperti mengerjaiku. Aku tidak yakin dapat mengurusnya secepat itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pemain Figuran
RandomSelamanya status Amanda hanyalah seorang pemain figuran dalam cerita hidup Reynaldi. Tidak lebih. Membantu duda tampan itu membesarkan kedua anaknya selama belasan tahun, tidak membuat hati Reynaldi tersentuh dengan ketulusan hati Amanda Sampai kapa...