9

21.3K 2.4K 229
                                    

Hari hari selanjutnya, hatiku semakin sering diuji untuk sabar. Penyebabnya adalah karena si cantik Arini perlahan mulai menggeser kedudukanku di hati keluarga ini.

Sebentar-sebentar Arini, atau saat jalan-jalan ajak Arini. Belum lagi kalau ada sesuatu yang perlu untuk si kembar, harus tanya pendapat Arini dulu. Tiba-tiba semuanya harus ada Arini disertakan. Sehingga membuat posisiku semakin tergantikan secara perlahan.

Sore hari, ketika sedang menyiram bunga di kebun belakang, tiba-tiba Pak Reynaldi datang mendekatiku.

"Man, nanti rencananya Arini mau datang ke rumah masak malam untuk kita. Tolong bantu nanti ya, nunjukkan peralatan dapur." Senyumnya merekah sempurna menunjukkan bahwa dia sedang bahagia.

Aku menganggukkan kepalaku kaku menuruti permintaan Pak Reynaldi. Lagipula apa hak ku untuk menolaknya? Istri bukan, saudara bukan, kekasih apalagi? Aku ini hanya sebatas pengasuh yang mengharapkan cinta tuannya. Jadi tidak perlu diperhitungkan pendapatnya.

"Arini pintar lho masak Man, gak kayak kamu," kekeh Pak Reynaldi menertawakan kekuranganku itu. "Beberapa kali saya pernah mencoba masakannya, semuanya terasa nikmat di lidah saya. Beda sama kamu, kalau gak gosong, pasti masih belum matang."

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan ucapannya. Namun karena aku sedang dilanda cemburu dan patah hati, otomatis ucapan Pak Reynaldi barusan membuatku tersinggung. Tapi, alih-alih marah, aku malah ikut tertawa kecil menutupi perasaanku.

Munafik! Maki ku dalam hati.

Mumpung Pak Reynaldi di sini, aku memutuskan untuk menanyakan perihal hubungan mereka. Daripada mati penasaran, mending memilih memastikan sendiri.

"Cie...ada bau-bau asmara, nih ye..." aku menggoda Pak Reynaldi dengan menaik-naikkan alisku. Seperti perempuan kebanyakan, hanya untuk mendapatkan informasi saja aku harus ngomong berputar-putar dulu.

Pak Reynaldi terlihat salah tingkah mendengar godaanku. "Apaan sih kamu, Man?"

"Siapa tahu saja kan Pak, udah serius. Biar tahu mau jahitkan kebaya untuk pesta," godaku lagi. Padahal ingin rasanya kutampar diriku. Kenapa sih suka sekali lidahku ini cari penyakit?

Dasar perempuan! Lain di hati, lain di mulut. Buat perempuan yang di luaran sana, apakah kalian ada yang bersikap sepertiku?

"Doakan saja, Man. Soalnya saya lihat kali ini anak-anak suka sama Arini." Bukannya membantah, Pak Reynaldi malah terlihat sumringah. "Sulit sekali rasanya di dunia ini bisa  menemukan wanita yang mau menerima duda dua anak seperti saya ini dengan tulus. Tapi Arini sama sekali tidak mempermasalahkan itu, Man. Jadi, bodoh sekali saya Man, kalau sampai menyia-nyiakan wanita sebaik Arini dalam hidup saya."

Ingin rasanya aku menyiram Pak Reynaldi dengan selang air agar ia sadar. Apa katanya tadi? Sulit mendapatkan wanita yang tulus?
Hello, lalu aku selama ini merawat anak-anakmu kau anggap apa?
Kurang tulus apa perhatianku selama ini. Belasan tahun lamanya aku merawat si kembar tanpa pernah mengeluh. Tapi tetap saja aku tidak dianggap, karena perhatianku seolah sudah dibayar dengan nominal gaji bulanan selama ini. Baru kusadari ternyata semua kebaikanku tak berarti.

"Tanggapan anak-anak, gimana Pak?" tanyaku ingin tahu.

"Sheyna tentu saja senang sekali, Man. Malahan ia yang terus mendukung saya untuk mendekati Arini," ucap Pak Reynaldi geleng-geleng kepala. "Aaron saja yang terlihat biasa. Tapi tidak keberatan," ceritanya semangat.

Aku pura-pura ikut tertawa bersamanya, padahal hati sudah berdarah-darah.

"Kalau Tuan besar bagaimana tanggapannya, Pak?" Padahal jelas-jelas aku berharap banyak bahwa Pak Subagja tidak mengetahuinya. Jadi paling tidak belum semua dapat ditaklukkan Arini hatinya. Sehingga aku tidak begitu kecewa sekali dalam kekalahan ini. Lebih tepatnya lagi, aku masih sedikit berharap bahwa si tuan besar itu tidak menyukai Arini, sama sepertiku.

Pemain FiguranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang