"Kalau saja diberi pilihan untuk terus berjuang, pasti dilakukan. Sayangnya, hanya ada pilihan untuk melepas secara perlahan."
Behind A Red Rose
🍂🍂🍂
Seorang laki-laki dengan pakaian kusut menatap pantulan dirinya dari kaca menghadap balkon. Lebih tepatnya sedang menertawakan dirinya sendiri yang sekarang tidak terurus. Rambut yang tidak lagi dipotong, rahang tegas ditumbuhi bulu-bulu halus, tampaknya dia tidak lagi memikirkan penampilan. Terserah orang ingin berkata apa, karena jujur harinya tidak lagi seperti dulu, berani menyulut api maka harus berani menanggung kobarannya yang semakin tak terkendali.
Akhtar Farzan Prasetyo, laki-laki itu menyugar rambutnya ke belakang dan mengusap wajah frustasi.
"Bang?"
Farzan menoleh sekilas dan berjalan ke sofa, mendudukkan dirinya sembari menopangkan kepala dengan kedua tangan diatas lutut. Widia menghampiri dengan menyentuh pundak yang perlahan bergetar.
Widia datang saat mendengar pintu dibanting, ia melihat suaminya keluar dari kamar Farzan dengan wajah yang menahan amarah. Samar-samar mendengar pertengkaran antara suami dan anak laki-lakinya.
"Bang, tahan amarahmu," ucap Widia lembut mengusap rambut yang sedikit panjang.
Farzan mengangkat wajahnya dengan mata memerah mencoba meredamkan amarah yang sempat tersulut karena emosi. "Ma, apa ini belum cukup bagi papa? Apa Farzan harus menurutinya lagi untuk kali ini?"
Widia bingung harus mengatakan antara iya atau tidak, dirinya memikirkan perasaan putranya. Tapi, disisi lain ia paham betul bagaimana karakter suaminya sekali bilang iya maka harus iya, tidak bisa berubah apapun kondisinya.
"Aku tau sudah bermain api, tapi tidak menyangka akan berkobar seperti ini, Ma." Widia duduk di sebelahnya, mencoba menenangkan dengan mengusap punggung yang kian bergetar perlahan.
"Beri mama waktu untuk menjelaskan semuanya pada Papa, ini kesalahan yang tanpa sengaja kamu buat sendiri tanpa tau endingnya akan seperti apa." Farzan merunduk mengingat begitu bodohnya dia. Dia tau mamanya tidak tau apa-apa sebelum semuanya terjadi, ini rencana Pras-papanya membuat keputusan sebesar ini.
"Mama mau tanya sama kamu." Farzan menoleh kearah mamanya.
"Apa kamu masih menyayangi Nasya?" Widia bertanya lembut, tapi laki-laki itu bungkam. Meski ia tidak menjawab iya atau tidak tapi Widia sudah mengerti jawaban apa yang akan diberikan putranya. Sorot mata Farzan menjelaskan dengan jelas.
"Mama ingin meminta maaf sama Nasya dan keluarganya, tapi rasanya sangat malu untuk sekadar bertemu. Kamu tau Nak? Sebelum kita kembali ke Indonesia mama lebih dulu menghubungi bu Dewi, tanpa pikir panjang dan tau segalanya Mama mengatakan ingin melamar putrinya untukmu." sontak Farzan kaget, dia tidak tau tentang ini.
"Kapan mama menghubungi tante Dewi?"
"Seminggu sebelum kita kembali ke Indonesia."
Pria jangkung itu meraup wajahnya dengan kasar, ingin marah juga rasanya tidak pantas. "Apa yang mama katakan pada tante Dewi? kenapa mama tidak cerita sama Farzan?" cecarnya dengan segala pertanyaan. Widia menggeleng, memejamkan matanya ketika merasa semakin bersalah telah memberikan harapan yang sampai kapanpun tidak akan pernah terjadi.
"Mama tidak tau jika yang ingin dilamar bukan Nasya, papamu hanya mengatakan ingin melamar untuk kamu. Mama kira itu Nasya. Mama bahagia saat itu dan tidak berfikir panjang untuk segera memberi kabar pada bu Dewi. Maaf... maafkan mama." isakan kecil mulai keluar dari wanita paruh baya setelah serangkaian kata ia lontarkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kamu Dan Ikhlas ku
SpiritualJudul sebelumnya Behind a Red Rose Proses Revisi Namanya Nasya Khairina Lathifah. Memiliki arti, anak perempuan yang harum dengan kebaikan dan penuh kelembutan. Selaras dengan namanya, ia tetap menjadi pribadi baik meski ada anak panah yang dibidik...