8. Sosok Lain

4.1K 425 22
                                    

Di dalam ruang kerja, Kaisar Alardo menerima dan memeriksa sapu tangan pemberian penasihat kekaisaran dengan saksama. Ia mengernyit saat melihat sebuah nama ‘Dewi Harnum’ yang dirajut dengan benang emas pada salah satu ujung sapu tangan tersebut. Tanpa dijelaskan pun, Kaisar Alardo yakin bila sapu tangan tersebut adalah milik perempuan yang putranya inginkan.

Dewi Harnum. Benak sang kaisar mengulang nama itu sekali lagi. Nama yang sangat indah. Apakah rupa pemilik nama tersebut seindah namanya? Secantik apakah ia? Kali ini ia tak dapat mengelak bahwasanya ia pun sangat penasaran dengan sosok permaisuri yang sangat didamba oleh putranya tersebut.

Kaisar Alardo membawa sapu tangan tersebut ke hidung dan mengerjap lambat saat hidungnya mencium aroma harum bunga mawar merah basah yang khas. Sangat menggoda. Ia dekatkan kembali benda di tangannya tersebut untuk memastikan dan hidungnya kembali mencium harum yang sama. Tiada bau aneh benda lama, hanya ada harum yang memabukkan.

Telah sangat lama, seingatnya sepuluh tahun berlalu namun mengapa benda sederhana tersebut masih sangat harum? Sepertinya sosok permaisuri putranya adalah tukang sihir, pikirnya.

“Apakah ada kesalahan, Baginda?”

Kaisar Alardo tersadar dan berdeham sambil meletakkan kembali sapu tangan tersebut pada tempatnya di atas meja kerja di hadapannya. Ia pun mengalihkan pembicaraan. “Bagaimana cara Anda mendapatkannya, Tetua? Mengingat kamar Putra Mahkota bukan sesuatu yang mudah dikunjungi.”

“Para pengawal yang berjaga di depan kamar Putra Mahkota tak berkutik saat saya menyebutkan nama Anda, Baginda. Lalu saya menemukan benda itu berada di tengah dan dikelilingi oleh tiga senjata mematikan milik Putra Mahkota,” terang Tetua Creon sambil bergidik ngeri.

Kaisar Alardo terkesiap. Sebegitu berharganyakah sapu tangan itu bagi putranya?

“Saya meminta tetua penyihir untuk melakukannya, Baginda.”

Kaisar Alardo terkekeh geli. “Putra Mahkota akan sangat murka jika mengetahui saya telah bermain curang.”

“Tak perlu risau, Baginda. Putra Mahkota takkan mengetahuinya karena tetua penyihir telah menghilangkan semua jejak dan membuat duplikat sapu tangan yang asli untuk mengelabui Putra Mahkota.”

“Hmm,” gumam Kaisar Alardo memainkan kotak perhiasan milik putranya yang berisi sapu tangan yang berada di mejanya. Tak mudah mengelabui putranya, pikirnya mengelak ucapan bangga Tetua Creon. “Anda menjalankan tugas dengan baik, Tetua.”

“Saya takkan mengecewakan Anda, Baginda.”

“Bunuh semua perempuan yang bernama Dewi Harnum secara rahasia. Jika suatu saat Putra Mahkota mengetahuinya, saya sendiri yang akan menghadapinya.”

“Baik, Baginda.” Tetua Creon mengangguk patuh meski dalam hati bertanya-tanya. Sanggupkah sang kaisar menghadapi kemurkaan Putra Mahkota?

***

Dewi Harnum berbinar saat melihat banyak makanan kesukaannya tersaji di atas meja makan. Ia pun mengambil semua makanan kesukaannya sedikit demi sedikit dan meletakkannya pada piring makannya yang telah terisi nasi. “Sangat lezat,” pujinya saat memakannya lahap dengan perlahan.

“Kapan tak lezat? Bahkan jika masakan Ibumu keasinan pun selalu kau puji lezat,” cibir Alcmena yang tengah disuapi oleh Scawati.

Dewi Harnum menyengir polos dan makan lagi sambil terus memerhatikan Scawati yang sangat telaten mengurus Alcmena. Ia mendekat sambil membawa piringnya. “Biarkan aku yang menyuapi Nenek. Ibu makanlah.”

“Jangan mencuri berkatku, Sayang. Habiskan makananmu dengan tenang.”

Alcmena terkekeh pelan. Di wajahnya terdapat riak kesedihan karena selalu menyusahkan.

Dewi Harnum cemberut. Ia pun menarik kursi kayu dan duduk berhadapan dengan Scawati. “Jika demikian, aku akan makan sambil menyuapi Ibu dan aku tak menerima penolakan,” ujar Dewi Harnum keras kepala sebelum Scawati menolak.

Mengetahui bahwasannya ia takkan menang melawan putrinya, Scawati menurut. Ia menyuapi Alcmena dan Dewi Harnum menyuapinya sambil makan sendiri. Makanan mereka habis tak bersisa dengan suasana kekeluargaan yang khas. Scawati tersenyum haru dan sangat bahagia bisa kembali berkumpul dengan sang putri yang kini tengah meletakkan piring kosong di tangannya pada sebuah nakas kayu di samping tempat tidur Alcmena.

Scawati tertegun saat Dewi Harnum menumpangkan satu kaki di atas kakinya yang lain dan menatapnya tanpa riak. Lantas ia pun berlutut. “Mohon ampuni kami yang tak menyadari kehadiran Anda, Mahadewi.”

“Bangkit dan duduklah.”

“Mohon ampuni saya juga, Mahadewi,” ujar Alcmena segan.

“Tak apa. Aku takkan lama. Ada beberapa hal yang ingin kusampaikan.”

“Kami mendengarkan dan patuh, Mahadewi.”

“Saat reinkarnasiku pergi ke Kekaisaran Alaska, jangan biarkan ia memakai nama aslinya dan berhati-hatilah. Tak lama lagi seseorang akan datang mengincar suara Alcmena Peri.”

Alcmena menegang. Tanpa diberitahu ia sangat mengetahui ‘seseorang’ yang Mahadewi maksud.

“Mohon cegah hal buruk itu terjadi, Mahadewi,” pinta Scawati menangkupkan tangan.

“Aku telah memberitahu Alcmena Peri. Ibu Harnum. Tetapi melihat ia pasrah saja saat dilumpuhkan, kurasa aku mengetahui pilihannya.”

Scawati terkesiap. Ia menatap bingung Alcmena yang kini menangis dalam diam. “Ibu ….”

“Maaf ….”

Scawati menangkup mulutnya dan ikut menangis dalam diam.

***

Permaisuriku~ (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang