Senja di Kota Tambang

3.1K 104 20
  • Dedicated to Abakku tercinta, H. Adjam St. Batuah (alm)
                                    

“Awas! Tambang meledak!”

Suara yang memekakkan telinga itu terdengar lagi, mengirimkan sinyal-sinyal gentar ke dalam hati siapa saja yang mendengar. Beberapa kaum pria berlari menjauh dari area mulut tambang, berusaha memperingatkan siapapun yang datang mendekat, termasuk gadis yang baru saja tiba dengan rantang di tangan itu.

Abak!

Gadis itu membatin dengan wajah pucat pasi teringat sang ayah yang berada di dalam lubang tambang.

Kontan rantang itu dilemparkannya ke tanah, mencerai-beraikan nasi dan gulai jariang guna makan siang sang ayah yang susah payah dipersiapkannya sepagian tadi.

“Jangan!” Seseorang, entah siapa, mencoba menghalangi niatnya. “Tambang masih mungkin meledak lagi!”

Tapi sia-sia. Dia tidak akan pernah mendengarkan larangan itu, meskipun ibunya sendiri yang meminta. Tekadnya terlalu kuat karena yang dia tahu hanyalah ayahnya berada di dalam sana dan masih mungkin diselamatkan. Sambil berlari kencang dan beberapa kali nyaris terjatuh, akhirnya dia sampai di depan mulut tambang.

“Abaaaak!!!!!”

***

Sambil mempercepat langkah, Upik bergegas mendahului beberapa orang teman-teman sekolahnya di sebuah SMA negeri di Sawahlunto. Padahal biasanya dia akan menikmati pemandangan di kota tercinta ini setiap kali melalui jalanan pulang yang menurun hingga mencapai pasar. Namun kali ini berbeda. Dia tengah resah menanti kabar tentang ayahnya yang konon akan dimutasikan ke daerah lain oleh perusahaan tempatnya bekerja, sebuah BUMN besar yang bergerak di bidang penambangan batubara dan telah cukup lama menjadi penggerak roda perekonomian kota ini. Kabarnya sudah tak cukup lagi stok batubara yang masih bisa dieksploitasi sehingga perusahaan harus pindah ke daerah lain yang masih menjanjikan. Ya, ke daerah Tanjung Enim, Sumatera Selatan. Ke sanalah ayah Upik akan dipindahkan.

Sebenarnya Upik tidak sanggup membayangkan kalau harus pindah ke daerah asing yang tak dikenalnya. Seumur-umur, Upik hanya kenal Sawahlunto, bagian kecil dari untaian ranah minang nan rancak di sepanjang Bukit Barisan. Kampung halaman hijau, dilingkung perbukitan yang berkilau ditimpa sinar matahari dihiasi jalanan yang berkelok indah. Kalau berjalan jauh ke pelosok, macam-macam rupa air terjun bersuhu sejuk mengaliri sungai-sungai alami akan ditemui dan sama sekali belum terjamah tangan-tangan modernisasi. Usia Sawahlunto sudah ratusan tahun karena dibangun oleh bangsa Belanda yang pertama kali menemukan bahwa kota ini kaya akan batubara. Konon, hasil tambang tersebut adalah kualitas terbaik di masanya. Benar-benar hitam, mengkilap, dan tentunya bernilai jual tinggi.

Sayangnya, kenangan tentang batubara kualitas super itu perlahan memudar dari ingatan penduduk. Sekarang, pemerintah kota mulai berbenah semenjak BUMN itu berancang-ancang angkat kaki. Jargon Kota Wisata Tambang mulai didengung-dengungkan. Banyak bangunan tua dari zaman Belanda yang direstorasi dan dikembalikan ke fungsi awalnya. Mulai dari Gedung Pusat Kebudayaan (GPK) yang merupakan tempat pertemuan pejabat tambang dan noni-noni Belanda kala itu, sebuah rumah tua milik warga keturunan Cina di daerah pasar, termasuk gereja katolik bahkan sekolah dasar Santa Lucia yang dulunya adalah sekolah Upik. Dia senang sekaligus kehilangan karena merasa Sawahlunto sedikit demi sedikit mulai berubah. Kota ini sudah tak lagi seperti yang diingatnya di masa kecil yang bahagia, bersama teman-teman sepermainan menyusuri rel kereta api yang mengangkut batubara ke Padang, mengumpulkan serpihan kecil emas hitam mengkilap yang tercecer di sepanjang jalurnya.

Upik menggelengkan kepala, tersenyum pahit. Perubahan itu sendiri bahkan telah berani menyentuh sendi-sendi kehidupannya. Seperti sekarang, rasa gelisah kian memuncak ketika kakinya telah mencapai pintu depan rumah dan dengan tergesa-gesa mengucapkan salam.

Sophi's Music BoxWhere stories live. Discover now