Harta Karun Bukhara

14.5K 292 95
                                    

Hariku benar-benar melelahkan. Transit berjam-jam di Suvarnabhumi lalu Tashkent dan harus terbang dengan tiga maskapai penerbangan berbeda sebenarnya bukan masalah besar. Tapi yang membuat nyaris gila adalah birokrasi berbelit-belit begitu tiba di imigrasi Republik Uzbekistan di Bandara Tashkent. Indonesia saja masih kalah berbelitnya. Aku menggeram rendah mengingat betapa semua barang-barang bawaanku mulai dari pakaian, kamera, tablet, bahkan pembalut wanita (double astaga untuk ini), dan tentunya uang rupiah dan dolar di dompetku, harus dituliskan sedetil-detilnya saat aku melintasi negara ini. Arrgh! Negara antah-berantah macam apa ini? Kalau tidak ingat apa yang sudah menungguku di sini, tentunya aku tidak mau repot-repot berkeliaran di negeri orang yang sekarang sudah mulai memasuki musim dingin. Aku ingat terakhir menatap langit cerah Jakarta sekitar pukul satu dan sekarang tiba di sini, di Bukhara, hampir mendekati jam 9 pagi waktu setempat dengan cuaca yang tidak bersahabat, sama seperti para petugas di bandara itu. Dua puluh jam rupanya! Ngomong-ngomong, berapa ribu dolar yang sudah dihabiskannya untuk memberiku tiket gratis pulang-pergi Jakarta-Bukhara seperti ini? Aku yakin tidak kurang dari dua ribu dolar. Ckck...mentang-mentang banyak uang dia.

”Kau butuh cuti agar tidak stres. Berliburlah ke kampung halamanku.” Aku masih ingat kata-katanya beberapa waktu lalu. ”Aku akan melakukan perburuan harta karun di Bukhara. Pasti menyenangkan kalau kita bisa menemukannya bersama,” rayunya lagi dengan nada memprovokasi, membuat gairah bertualangku menggelora.

Mataku menyipit menatap ke arah rombongan penjemput, mencari-cari sosok tinggi kekarnya. Oh ya, tentu saja dia tidak ada. Percuma berharap, tapi tetap saja kulakukan. Dari pesan di kotak masuk e-mail yang baru kubaca begitu mendarat tadi, aku tahu kalau yang akan menjemputku pagi ini adalah adiknya, yang sama sekali belum pernah kutemui. Petunjuk yang kupunya adalah, dia tinggi, kurus, berambut pirang dan berwajah khas pria Uzbek. Grrr, yang benar saja! Hampir semua penjemput di sini berpostur dan berwajah seperti itu. Kenapa dia tidak memberi petunjuk yang lebih spesifik seperti warna baju, topi, ...

Gospozha* Rayna! Rayna Farazza from Indonesia, right?” Aku mendengar namaku diteriakkan seseorang.

Pria kurus itu berpostur Eropa dengan mata sedikit sipit. Dia tersenyum padaku sambil menenteng sebuah karton bertuliskan nama dan negara asalku. Aku bersyukur adiknya ini bisa berbahasa Inggris karena hampir tidak ada kosakata Bahasa Uzbek dalam kamus otakku. Benar-benar aku kemari bermodalkan kenekatan, niat mulia untuk jalan-jalan gratis, dan perburuan harta itu. Dia memang tahu kelemahan terbesarku, tidak bisa menolak tantangan. Kadang-kadang aku merasa tantangan adalah nama tengahku walaupun aku sebenarnya tipe yang kurang sabaran. Sedikit ironis bukan?

”Assalamualaikum. Aku Eldor Akhmedov. Feruz Aka** mengutusku untuk menjemputmu, teman baiknya, pagi ini. Maaf dia tidak bisa datang karena ada suatu urusan yang tidak bisa ditinggalkan,” ujarnya dengan Bahasa Inggris yang cukup lancar dan bisa kumengerti.

”Waalaikumsalam. Aku Rayna Farazza,” jawabku sambil menyambut uluran tangannya. ”Terima kasih sudah berbaik hati mau menjemputku, Eldor. Ya, abangmu sudah memberi tahuku tadi. Tidak apa-apa, aku mengerti keadaannya,” sambungku lagi sambil tersenyum pada pemuda ini.

Tanpa banyak basa basi Eldor segera saja mengambil alih travel bag milikku sehingga aku hanya menenteng sebuah tas tangan. Tak lama kami menuju ke sebuah mobil mungil buatan Rusia berwarna biru yang ternyata bisa berlari cukup kencang, tidak seperti dugaanku sebelumnya. Kemudi berada di sebelah kiri, tidak seperti di Indonesia. Jalanan di Bukhara terlihat tidak terlalu ramai. Barisan rumah berbentuk kotak-kotak yang membentang di sepanjang jalan didominasi oleh warna coklat pasir, mengingatkanku pada rekaman video perjalanan Adinda, sepupuku, di Karachi, Pakistan, beberapa bulan yang lalu. Di sana-sini terlihat puncak menara masjid yang tinggi. Setidaknya, Bukhara berhasil memberikan kesan pertama padaku sebagai kota peradaban Islam yang pernah jaya berabad-abad silam.

Sophi's Music BoxWhere stories live. Discover now