Keringat dingin menetes di dahiku. Di sebelahku, Arin duduk bersimpuh dengan ekspresi yang tak bisa kudeteksi maknanya. Perlahan aku mengalihkan pandang ke sekeliling, meneliti satu per satu wajah anggota keluarga besar yang balas menatap kami dengan pandangan tajam menusuk diselingi aroma kemarahan dan kebencian yang menyebar dengan cepat di ruangan itu.
“Kami mau menikah!” ujarku mantap setelah berkali-kali menarik napas.
“Tidak bisa!” tolak mamak tertuaku yang duduk paling depan. “Wa’ang jan cubo-cubo melanggar adat. ” Suaranya dingin namun aku bisa meraba ancaman yang terkandung di dalamnya.
“Tapi kenapa? Ini bukan lagi masanya Siti Nurbaya,” protesku sambil susah payah menelan ludah. “Aku mencintai Arin dan dia pun begitu.”
“Karena memang itulah yang ditentukan adat kita.”
Saat itu juga makhluk dalam dadaku meraung keras karena amarah, membuatku berdiri tiba-tiba dan memuntahkan perasaan kesal yang nyaris mengkristal lamanya terpendam di hati.
“Persetan dengan adat! Kalau kami tidak mau mengikutinya, lantas kalian mau apa?!”
Saat itu juga aku mendengar teriakan tertahan ibuku sebelum perempuan terkasih itu tak sadarkan diri.
***
Aku menatap bayanganku di cermin sambil beberapa kali merapikan rambut bergaya spike yang selalu jadi bahan gosip panas para pengagum rahasiaku di kantor. Meskipun ada banyak gadis yang mencoba mendekati, tetap saja posisi Arin tidak tergantikan di hatiku.
Arin halus, sedikit berbeda dengan karakter perempuan Minang pada umumnya yang cenderung frontal dan meledak-ledak. Kurasa itulah sebabnya aku membuka lebar-lebar pintu hatiku untuknya karena ketidak biasaannya itu di samping faktor cantik dan pintar yang tak terelakkan lagi. Yang paling membuatku bahagia adalah dua bulan yang lalu, ketika Arin akhirnya membalas ungkapan perasaanku.
“Rin ….”
“Seharusnya kamu panggil aku ‘tante’, Zak,” ralatnya lembut.
Sudut-sudut bibir Arin tertarik ke atas ketika mengatakannya sehingga membuat pandanganku semakin terkunci di wajah lembutnya. Satu senyuman saja sanggup membuat ribuan sarafku berontak, melemparkan jutaan respon tak masuk akal yang pada akhirnya membuat ekspresiku terlihat seperti orang cacat mental.
“Aku nggak mau, Rin,” tolakku cepat sambil menyelipkan helaian anak rambut yang menjuntai di sisi wajahnya ke balik telinga. “Aku nggak ikhlas karena sepantasnya kamu tuh jadi adekku. Adek yang paling aku sayang.” Kali ini aku mengucapkannya sambil menatap lekat-lekat bola mata gadis itu. Mataku mengerjap. Untuk sesaat aku mengira bibir Arin bergetar ketika mendengarku mengucapkannya. Dan firasatku benar. Kilatan di bola mata yang jernih itu tidak bisa berbohong.
“Kita berdua tahu nasib mungkin tidak akan pernah mengizinkanku untuk bersamamu tapi untuk kali ini saja dalam hidupku, aku ingin bebas mencintai. Dan orang itu, kamu,” balas Arin dengan nada getir sekaligus bahagia.
Betapa bahagianya ketika akhirnya seseorang membalas perasaan yang telah terpendam sejak tujuh tahun yang lalu. Sebuah perasaan yang bahkan sanggup membunuh tidak hanya aku, namun juga ibuku.
***
Usiaku tujuh belas tahun saat kami pertama bertemu pada arisan keluarga di rumah Andung Yana—adik sepupu nenekku dari pihak mama yang sekaligus mama Arin. Karena ayah Arin yang warga negara Malaysia telah meninggal, keluarga mereka akhirnya memutuskan pindah ke Jakarta setelah bertahun-tahun menetap di Kuala Lumpur.
Praktis, mama mengharuskan aku memanggil Arin dengan panggilan tante. Aku ingat benar bagaimana aku protes tapi tak urung kuikuti juga walaupun dengan perasaan heran. Usia Arin bahkan lebih muda setahun dariku namun aku harus memanggilnya tante. Benar-benar tidak masuk akal tapi aku tidak berdaya. Arin memang tanteku, meskipun kami sebaya.
“Tante Arin itu cantik, ya Ma?” ujarku sambil mencuri-curi pandang.
“He’eh. Tapi lupain aja kalau kamu pikir boleh naksir dia,” bisik mama lagi.
“Lho, kok gitu?”
“Kalian nggak punya masa depan,” sambung mama dengan nada berkuasa. “Kamu tahu kan orang Minang dengan suku yang sama itu nggak bisa menikah.”
“Tapi hubungan kekeluargaan kita kan nggak terlalu dekat,” protesku. “Lagian siapa juga yang mau nikah. Cuma naksir ini aja masa nggak boleh, sih.”
“Pokoknya Arin dan semua saudara dari pihak perempuan di keluarga mama terlarang kecuali kamu sanggup nanggung sanksinya. Kita nggak akan diakui lagi sebagai bagian dari suku dan nggak bisa pulang kampung untuk selamanya,” bentak mama tertahan. Kali ini matanya melotot dengan ekspresi tegas yang nyata. “Itu sama aja dengan kamu ngebunuh mama, Zak.”
“Sebenarnya kita pakai aturan adat atau aturan dari Tuhan, sih, Ma?”
Dan pertanyaan itu tidak pernah dijawab mama sampai sekarang.
***
Aku melirik jam tangan berkali-kali dengan gelisah. Panggilan boarding dari pesawat menuju ke Kuala Lumpur sudah sejak sepuluh menit yang lalu, namun sosoknya tidak juga terlihat. Katanya hanya pamit membeli kopi sebentar. Aku menggigit bibir, berusaha meyakinkan diri kalau dia memang sungguh-sungguh saat itu untuk menjalankan rencana ini. Kawin lari memang bukan ide yang sempurna tapi jelas ide yang lebih baik ketimbang berpisah lalu membuat salah satu dari kami depresi.
Aku menoleh ketika mendengar namaku diteriakkan lalu bernapas lega ketika akhirnya melihat sosoknya berlari-lari menghampiriku.
“Kamu telat,” ujarku sambil tertawa lega. “Ayo buruan ke pesawat.”
“Tunggu dulu,” tahannya dengan ekspresi dan nada yang tidak pernah kukenali sebelumnya. “Aku … aku nggak bisa,” cicitnya gugup, tak sanggup menatap mataku. “Maafin aku, Sayang, tapi aku nggak sanggup melihat betapa menderitanya mama akibat ulahku. Apalagi kalau kita berdua sampai kawin lari.”
Aku sudah tidak perlu lagi mendengar lanjutan kalimatnya. Tubuhku terasa dingin dan terasa lembek seperti jelly sebagai respon perasaan kecewa. Air mata menetes tanpa kusadari namun dengan cepat kuhapus sebelum manusia pengecut di hadapanku ini sempat merasa jumawa karenanya. Aku sadar aku sudah pernah melalui kepedihan yang jauh lebih menggoreskan luka saat ayahku meninggal ketimbang apa yang sudah diperbuatnya padaku hari ini.
“Nggak apa-apa, Zak,” ujarku berusaha keras tersenyum. “Sekarang aku ngerti apa makna cinta bagimu. Itu tetap nggak lebih penting dari aturan yang mengekang kehidupanmu sejak lahir. Jeruji yang bahkan nggak pernah kamu tahu siapa yang membuat dan untuk apa diciptakan tapi anehnya kamu sanggup mengalahkan diri sendiri untuk mematuhinya,” bisikku getir dengan nada sarkastik. “Lagipula, aku bakal tetap ke KL—dengan atau tanpa kamu.”
“T-Tapi ….” Dia kelihatan benar-benar kaget. “Kenapa, Arin?”
“Siapa yang tahu kalau masih ada jeruji-jeruji lain yang menungguku di depan lantas mengerangkeng kebebasanku seperti hari ini. Aku pasti akan merasa bukan manusia lagi pada saat itu,” bisikku sambil tersenyum pahit. “Tidak ada apa pun atau seorang pun juga yang berhak melakukannya padaku. Kalau bukan aku, siapa lagi yang akan memperjuangkan kebebasanku?”
Lalu tanpa menoleh lagi, aku berlari menuju pesawat, meninggalkan Zaki jauh di belakang. Berlari demi menemukan kebebasanku sendiri.Author's note:
well...well... cerita ini nganggur aja di hardi disk setelah beberapa lama so aku putuskan untuk diupload di sini. ini cerita berlatar budaya minangku yang kedua. Topik sasuku (sesuku) adalah problema klasik sampai hari ini, terutama buat suku matrilineal kayak minangkabau... so, terlaranglah saudara2 sepupu dari pihak ibu dan keturunannya ke atas maupun ke bawah<<< apasih :p ... enjoy :D
YOU ARE READING
Sophi's Music Box
Romanceadalah kumpulan cerita pendek milik starmadre. Kisah cinta bagaikan lantunan nada abadi yang terus mengalun hingga akhir masa. Mulai dari Adam dan Hawa, Shah Jehan dan Mumtaz Mahal, Rama dan Sinta, sampai Romeo dan Juliet. Simaklah baik-baik nada...