Malka Moma

1.5K 82 22
                                    

            “Ibu, nyanyikan lagi malka moma[1] untukku.”

            “Kau benar-benar menyukainya, Nadya?”

            “Apakah itu sungguhan, Bu?”

      “Seperti Sungai Danube yang mengalir hingga ke Jerman. Siapa yang tahu kebenaran kisahnya?"

***

            Bau tembakau menyesakkan dada ketika Nadya memasuki ruangan remang-remang itu untuk pertama kali. Satu-satunya sumber cahaya berasal lentera kecil di atas meja yang terletak di sudut ruangan. Kemudian dia menyadari ada seorang wanita tua duduk di balik meja tersebut.

            “Selamat datang.” Nada suara wanita itu lebih kedengaran seperti menggeram, membuat bulu roma Nadya berdiri.

            “A-apa Anda orangnya?” tanya Nadya ragu-ragu sambil mendekat.

            Meskipun samar-samar tapi Nadya tahu kalau wajah si wanita jelek sekali. Kedua matanya terpejam sehingga Nadya berpikir kalau dia buta. Pipa tembakau yang tergenggam erat di jemarinya malah membuat Nadya semakin gelisah.

            Alih-alih menjawab, dia hanya menyeringai kepada Nadya. Gadis itu bergidik lagi, mulai meragukan kalau wanita bertampang seram itu benar-benar buta.

            “Aku butuh bantuan Anda. Namaku adalah—”

        “Nadezhda Petrova,” potong wanita itu cepat. “Itu namamu. Bukan begitu, Nadya?”

            Nadya terbelalak ngeri ketika mendengarnya.

***

            Nadya berkali-kali memandang dengan gelisah ke arah pintu masuk kedai tempatnya duduk menunggu. Setengah jam berlalu. Seharusnya dia sudah datang sejak tadi, pikir Nadya khawatir. Kepalanya lalu ditolehkan ke samping, tepat ke arah jendela kaca yang buram karena dinginnya cuaca dan sisa-sisa salju yang menempel. Dari dalam, Nadya bisa melihat jalanan kota diselimuti warna putih di mana-mana. Hanya ada beberapa pejalan kaki di bawah dahan-dahan beku pohon Birch yang berjajar di kedua sisi jalan. Ranting-rantingnya yang kurus dan berwarna putih mengingatkan Nadya pada para korban perang: pucat dan kaku.

Perang mungkin sudah berakhir namun musim dingin baru saja menginvasi Sofia—bahkan mungkin seluruh Bulgaria. Nadya harus berjuang agar tidak mati beku sebelum sampai kemari dengan dua lapis parka[2]. Dia bahkan tidak akan heran kalau saat ini atap Teater Ivan Vazov sudah tidak terlihat lagi. Padahal baru dua hari yang lalu ketika dia melewatinya dan berhenti sejenak untuk mengagumi—entah untuk yang ke berapa kalinya—sosok kaku patung Dewi Nike dengan keretanya di kedua menara teater.

            Nadya menggigil ketika pintu kedai terbuka dan seseorang melangkah masuk. Senyuman merekah di bibir Nadya. Eldrich Schultheiss—laki-laki Jerman dua puluh lima tahun itu—selalu terlihat gagah dalam ingatan Nadya saat mengenakan seragam Luftwaffe[3]-nya kendati sudah berbulan-bulan sejak Eldrich menanggalkannya. Sedikit pun dia tak pernah meragukan bahwa kembalinya Eldrich hidup-hidup dari Perang Stalingard di Soviet tiga tahun sebelumnya adalah karena kemampuan bertarungnya. Itu salah satu alasannya jatuh cinta selain fakta kalau Eldrich memang tampan, dengan rambut pirang keemasaan laksana ladang gandum menjelang panen di Yambol—kampung halaman orangtuanya. Dan meskipun seorang tentara, Eldrich punya wajah berkarakter namun meneduhkan dan senyumannya … ah, bagaimana Nadya melukiskannya? Lengkungan bibir Eldrich telah membunuh kekaguman Nadya terhadap pria-pria lainnya.

            “Maaf, aku terlambat,” gumam Eldrich sebelum duduk di hadapan Nadya. Suaranya kedengaran letih, persis ekspresinya sekarang.

Sophi's Music BoxWhere stories live. Discover now